![]() |
Ilustrasi Genset yang Tak Beriman: Sebuah Tragedi Mekanis |
Manusia menciptakan mesin agar hidupnya lebih mudah. Tapi entah sejak kapan, mesin mulai diperlakukan seperti makhluk halus, kadang disembah, kadang dituduh kerasukan.
Teknologi mestinya lahir dari nalar. Tapi di banyak tempat, nalar sering dianggap kurang ajar, apalagi kalau berseberangan dengan keyakinan kolektif yang diwariskan dari obrolan warung kopi dan WA keluarga. Maka terjadilah kekacauan yang tenang: orang-orang lebih percaya pada doa ketimbang obeng, lebih memanggil ustadz ketimbang teknisi.
Bukan berarti spiritualitas tak penting. Tapi ketika mesin rusak, lalu kita sibuk mencari setan, yang hilang bukan cuma logika, tapi masa depan.
Tulisan ini bukan untuk menertawakan, tapi untuk bercermin. Sebab kadang yang membuat kita tertinggal bukan karena kita tidak punya alat, tapi karena kita tidak tahu mau diapakan.
Teknologi modern sering kali hadir lebih cepat dari kemampuan kita memahaminya. Hasilnya? Kita memperlakukan mesin seperti makhluk hidup. Kita beri nama, kita omelin, bahkan kita rukyah.
Dan lucunya, sering kali orang yang menyarankan servis justru dianggap kurang iman. Katanya: “Kamu terlalu percaya logika.” Padahal, coba kamu lempar multimeter ke setan, dia juga bingung.
Bukan berarti doa tak penting. Tapi doa tak bisa menggantikan pelumas mesin. Dan Tuhan pun, dalam banyak ayat-Nya, selalu menyuruh manusia untuk berpikir, bukan untuk menyalahkan makhluk halus tiap kali mesin mogok.
Ini bukan sekadar soal genset. Ini soal kesenjangan antara pengetahuan dan keyakinan. Ketika pengetahuan tidak dipelajari, keyakinan dijadikan jawaban atas segalanya, termasuk yang seharusnya teknis.
Dan inilah PR besar kita. Pendidikan yang mampu menjembatani nalar dan iman. Yang mengajarkan bahwa memperbaiki genset tidak harus mengorbankan spiritualitas, tapi juga tidak perlu menuduh setan tiap kali mesin batuk.
Dan kalau suatu hari mesin cuci kamu mogok, tolong, jangan panggil ustaz. Panggil tukang servis.
Teknologi mestinya lahir dari nalar. Tapi di banyak tempat, nalar sering dianggap kurang ajar, apalagi kalau berseberangan dengan keyakinan kolektif yang diwariskan dari obrolan warung kopi dan WA keluarga. Maka terjadilah kekacauan yang tenang: orang-orang lebih percaya pada doa ketimbang obeng, lebih memanggil ustadz ketimbang teknisi.
Bukan berarti spiritualitas tak penting. Tapi ketika mesin rusak, lalu kita sibuk mencari setan, yang hilang bukan cuma logika, tapi masa depan.
Tulisan ini bukan untuk menertawakan, tapi untuk bercermin. Sebab kadang yang membuat kita tertinggal bukan karena kita tidak punya alat, tapi karena kita tidak tahu mau diapakan.
Mistisisme Darurat
Dalam banyak masyarakat, terutama yang akses pendidikannya masih tambal-sulam, solusi mistis bukan alternatif, tapi pilihan utama. Ketika lampu tidak menyala, bukan PLN yang disalahkan, tapi “ada yang ganggu.” Ketika sinyal hilang, bukan karena BTS down, tapi mungkin “ada jin di menara sebelah.”Teknologi modern sering kali hadir lebih cepat dari kemampuan kita memahaminya. Hasilnya? Kita memperlakukan mesin seperti makhluk hidup. Kita beri nama, kita omelin, bahkan kita rukyah.
Dan lucunya, sering kali orang yang menyarankan servis justru dianggap kurang iman. Katanya: “Kamu terlalu percaya logika.” Padahal, coba kamu lempar multimeter ke setan, dia juga bingung.
Miskin Teknologi, Kaya Doa
Sungguh ironis. Di era AI, quantum computing, dan robot berkebun, masih ada orang yang percaya genset bisa dimatikan oleh roh jahat yang iri. Negara lain sudah ke Mars, kita masih bertanya pada ustaz kenapa kulkas nggak dingin.Bukan berarti doa tak penting. Tapi doa tak bisa menggantikan pelumas mesin. Dan Tuhan pun, dalam banyak ayat-Nya, selalu menyuruh manusia untuk berpikir, bukan untuk menyalahkan makhluk halus tiap kali mesin mogok.
Ini bukan sekadar soal genset. Ini soal kesenjangan antara pengetahuan dan keyakinan. Ketika pengetahuan tidak dipelajari, keyakinan dijadikan jawaban atas segalanya, termasuk yang seharusnya teknis.
Pendidikan atau Pengusiran Setan?
Di tengah megahnya narasi “Indonesia Emas 2045”, masih ada wilayah yang memperlakukan teknologi seperti sulapan. Bukan alat untuk memudahkan hidup, tapi kotak ajaib yang bisa ngambek kalau tidak dibacakan ayat.Dan inilah PR besar kita. Pendidikan yang mampu menjembatani nalar dan iman. Yang mengajarkan bahwa memperbaiki genset tidak harus mengorbankan spiritualitas, tapi juga tidak perlu menuduh setan tiap kali mesin batuk.
Tuhan Tidak Pernah Menyuruh Rukyah Genset
Mari jujur. Kadang kita lebih takut pada setan yang tak terlihat daripada kebodohan yang nyata di depan mata. Genset itu tidak kerasukan. Ia hanya butuh dirawat.Dan kalau suatu hari mesin cuci kamu mogok, tolong, jangan panggil ustaz. Panggil tukang servis.