Filosofi Rebahan: Pembelaan Ontologis di Tengah Budaya Produktivitas

Oleh: Redaksi |

 

Ilustrasi Filosofi Rebahan: Pembelaan Ontologis di Tengah Budaya Produktivitas

Rebahan sering dianggap sebagai bentuk kemalasan. Padahal, bisa jadi itu adalah momen paling jujur untuk menghadapi kenyataan. Dunia yang terlalu cepat, hidup yang terlalu sibuk, dan sistem yang terlalu menuntut, membuat manusia butuh ruang untuk diam, untuk sekadar menatap langit-langit dan bertanya dalam hati: “Kenapa harus bangun kalau eksistensi ini belum sempat divalidasi?” 

Rebahan: Aktivitas Fenomenologis

Dalam kacamata fenomenologi, segala yang tampak adalah pintu menuju kesadaran. Maka, rebahan bukan sekadar aktivitas pasif, tapi sebuah metode kontemplatif. Dari posisi horizontal itu, realitas tampak lebih jujur: kipas angin berdebu, notifikasi tugas yang menyebalkan, dan keheningan yang justru penuh makna.

Tidak semua kesadaran hadir dalam keringat kerja. Kadang justru muncul dalam keheningan tubuh yang tidak ke mana-mana, tapi pikirannya menjelajah ke mana-mana. Rebahan bisa menjadi gerakan pelan yang membuka ruang untuk melihat hidup dari sudut yang tidak disediakan oleh meja kerja.

Kecemasan Jam 3 Pagi dan Kebenaran Eksistensi

Søren Kierkegaard menyebut kecemasan sebagai harga dari kebebasan. Dan kebebasan itu paling terasa justru saat malam sunyi, ketika jam menunjukkan angka 3 dan seluruh kota sedang tidur. Di situlah eksistensi mengetuk. Bukan dalam bentuk rencana hidup, tapi dalam tanya yang absurd: “Apakah semua ini masuk akal?”

Rebahan pada jam-jam sunyi sering dianggap tidak produktif. Tapi di situlah manusia bertemu dengan versi paling jujurnya: ragu, lelah, dan penuh pertanyaan. Dan justru dalam keraguan itulah, eksistensi menjadi lebih terasa nyata.

Malas sebagai Perlawanan Kultural

Dalam budaya kerja yang menuhankan kesibukan, rasa malas dianggap dosa. Padahal, diam bisa menjadi bentuk kritik. Tidak semua orang ingin menjadi mesin. Tidak semua orang rela hidupnya dikalkulasi dalam spreadsheet.

Malas bisa menjadi bentuk protes terhadap dunia yang memaksa manusia terus bergerak, bahkan ketika arah geraknya tak lagi jelas. Dalam rebahan, tubuh menolak eksploitasi. Pikiran menuntut ruang. Dan jiwa mencari alasan untuk tetap bertahan, meskipun hari-hari semakin absurd.

Mitos Produktivitas dan Kenyataan Eksistensi 

Produktivitas telah diubah menjadi mitos. Ditinggikan seolah-olah menjadi ukuran moral. Siapa yang sibuk dianggap baik. Siapa yang diam dianggap gagal. Padahal hidup bukan soal seberapa cepat bergerak, tapi seberapa dalam memahami makna tiap langkah, termasuk rebah.

Tidak semua waktu harus diisi dengan output. Ada waktu yang memang diciptakan untuk jeda. Untuk mendengarkan tubuh sendiri. Untuk merayakan kemalasan yang sehat. Dan untuk mengingat bahwa hidup bukan pabrik, ia lebih mirip puisi, atau lagu lambat yang butuh hening agar bisa dinikmati.

Penutup: Jangan Bangunkan Jika Bukan Soal Makna

Di tengah dunia yang riuh dan penuh tuntutan, rebahan bisa jadi satu-satunya ruang untuk menjaga kewarasan. Jadi, jika melihat seseorang tidur-tiduran sambil memandangi langit-langit, jangan langsung menuduhnya malas. Mungkin ia sedang dalam perjalanan eksistensial, yang tak terlihat dari luar, tapi menentukan segalanya dari dalam.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS