Etika Beli Barang tapi Nggak Jadi

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi - Etika Beli Barang Tapi Nggak Jadi
Kita semua pernah melakukannya. Masuk minimarket dengan niat hanya lihat-lihat, lalu ambil satu dua barang karena “kayaknya butuh”. Jalan ke kasir, antre, lalu mendadak sadar: “Lho, ngapain aku beli ini ya?”

Akhirnya, dengan teknik stealth ala ninja, barang dikembalikan ke rak secara ngasal. Saus sambal berakhir di rak sabun, mi instan ngendon di lemari deterjen. Tidak ada CCTV yang menangkapmu, tidak ada hukum yang menegur. Tapi di dalam dada, muncul bisikan: “apakah ini etis?”

Konsumen Sebagai Makhluk Bimbang

Dalam teori eksistensialisme, manusia adalah makhluk bebas, tapi kebebasan itu bikin kita pusing. Saat memilih antara dua varian sabun atau tiga jenis minuman isotonik, kita sebenarnya sedang mengalami “kecemasan ontologis”. Kita tidak tahu siapa diri kita, jadi kita mencoba menentukannya lewat pilihan-pilihan kecil: apakah aku orang yang beli sabun merek A? Atau aku tipikal orang sabun cair antibakteri dengan aroma tropikal?

Dan saat kamu tiba-tiba nggak yakin, kamu batal beli. Tapi masalahnya, kamu nggak mengembalikan barang ke tempat semula. Kamu biarkan mi rebus tersesat di antara shampoo anti-rambut rontok. Lalu kabur. Karena begitulah manusia modern: penuh keputusan tak selesai dan jejak dosa kecil.

Moralitas dalam Dunia Retail

Apakah meninggalkan barang di rak yang salah adalah dosa? Tidak ada di kitab suci. Tapi coba pikirkan: kamu telah menciptakan entropi tambahan bagi dunia. Kamu membuat pegawai minimarket harus menata ulang rak, kamu rusak sistem logistik mikro mereka. Kamu seperti butterfly effect dalam bentuk pembeli iseng.

Dalam etika Kantian, moralitas bersumber dari tindakan yang bisa dijadikan hukum universal. Bayangkan kalau semua orang melakukan hal yang sama. Dunia akan kacau, dan yoghurt bisa ditemukan di antara rak popok. Maka, tindakanmu tidak bisa dibenarkan secara moral, meski kecil.

Dan lucunya, kamu tahu itu. Itulah kenapa kamu merasa bersalah sedikit, tapi tetap melakukannya. Karena kebebasan itu melelahkan, dan kamu memilih untuk lepas tanggung jawab, lalu menyalahkan “impulsif aja tadi”.

Seni Membatalkan Diri Tanpa Malu

Dari pantauan tim Ngauris, ada dua jenis manusia saat batal beli barang: 
  • Tipe diam-diam: langsung naruh barang ke rak terdekat, nggak peduli itu rak sabun, rak tisu, atau rak dosa.
  • Tipe jujur tapi malu: nyerahin barang ke kasir sambil bilang, “Mbak, ini nggak jadi ya,” dengan muka bersalah dan suara lirih.
Yang pertama berdosa diam-diam. Yang kedua berdosa terang-terangan tapi jujur. Filosof Camus mungkin akan memilih yang kedua: menghadapi absurditas hidup dengan kejujuran. Tapi siapa yang kuat menatap wajah kasir yang sudah scanning setengah jalan?

Maka orang lebih suka lari. Ini bukan cuma soal barang. Ini refleksi cara kita menghadapi konsekuensi. Kita sering lari dari hal-hal kecil karena merasa “nggak penting”, padahal justru dari situ karakter kita dibentuk.

Dunia Bisa Lebih Tertib Kalau Kamu Balikin Barang ke Rak Asalnya

Kita hidup di dunia yang absurd. Banyak hal besar yang tidak bisa kita kendalikan: politik, cuaca, hidup tetangga. Tapi setidaknya, kita bisa bertanggung jawab atas satu hal kecil: barang yang kita pegang, lalu tidak jadi beli.

Balikin ke rak semula. Itu tidak akan menyelamatkan dunia. Tapi mungkin, itu menyelamatkan sedikit keteraturan dalam semesta. Dan di dunia di mana segalanya semakin kacau, mungkin tindakan kecil itu adalah bentuk pemberontakan yang paling sunyi, tapi paling bermakna.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS