![]() |
Ilustrasi PKL | Ngauris |
Apa arti estetika kota jika rakyat kecil harus menderita?Itu bukan sekadar pertanyaan retoris, tapi teriakan yang sering terpendam di balik jargon “penertiban,” “kawasan tertib lalu lintas,” atau bahkan ambisi tahunan bernama Adipura. Kota yang rapi tak selalu berarti kota yang adil. Dan mereka yang berdagang di pinggir jalan, di trotoar, di bawah terik dan debu, bukanlah musuh keindahan, mereka hanya sedang berusaha hidup.
Tentu, semangat keteraturan perlu diapresiasi. Tapi ada satu hal yang patut ditanyakan ulang: keteraturan untuk siapa?
Orang-orang yang berdagang di pinggir jalan itu bukan pelanggar estetika. Mereka hanya mencari cara supaya bisa makan. Mungkin mereka pernah mencoba berjualan di tempat resmi, tapi sepi. Mungkin mereka tak punya pilihan lain. Lalu, sekarang mereka disuruh pergi, demi keindahan kota?
Estetika kota sering kali dibangun dengan mengorbankan yang lemah. Kita melukis trotoar, mengecat taman, menanam bunga, lalu memotret diri dengan bangga. Tapi di balik itu, ada suara-suara yang disingkirkan karena dianggap merusak pemandangan. Padahal merekalah sesungguhnya denyut nyata dalam kota: mereka hidup, berteriak, bertahan.
Kita sering bangga punya alun-alun yang rapi, trotoar yang dicat ulang, baliho yang ditertibkan. Tapi kalau yang dihalau adalah orang-orang kecil yang hanya ingin bertahan hidup, untuk apa dan untuk siapa semua itu dirapikan?
Kota bukan katalog desain. Kota adalah tempat orang hidup. Dan kadang hidup itu berantakan, ramai, riuh, tidak sesuai tata ruang. Tapi justru di situ letak kemanusiaannya. Kalau semua yang tidak “enak dilihat” harus disingkirkan, apa bedanya kota dengan etalase toko?
Boleh bicara soal ketertiban. Tapi jangan lupa, tertib itu bukan hanya soal garis trotoar. Tertib juga berarti negara hadir, adil, memberi ruang. Tertib bukan berarti yang kecil harus minggir.
Dan tugas kita, warga, mahasiswa, jurnalis, siapa pun, adalah memastikan suara mereka tidak ditelan oleh ambisi-ambisi kosmetik bernama estetika.