Espresso, Eksistensi, dan Ekspektasi Orang Lain

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi - Espresso, Eksistensi, dan Ekspektasi Orang Lain
Kopi bukan lagi sekadar cairan pahit yang bikin melek, bukan lagi perangkat penghubung antara manusia dan metafisika, bukan lagi minuman pencair obrolan, sekarang dia udah naik jabatan, jadi simbol eksistensi, pelampiasan luka batin, bahkan alat branding pribadi.

Dulu, kopi bisa jadi sarana mencari pencerahan atas kegelisahan, sekarang sarana cari pencahayaan yang cocok buat feed Instagram.

Mari kita renungkan sebentar, kalau kita ngopi tapi nggak difoto lalu diposting di story, apakah benar ngopi itu pernah terjadi? Di sinilah absurditas eksistensial zaman digital dimulai.

Kopi: Dari Biji ke Filter Instagram

Dulu, orang minum kopi karena butuh energi buat kerja. Sekarang, orang minum kopi supaya bisa posting caption semi-filosofis: “hitam sepekat kopi, tapi hati tetap kosong.”

Lalu upload foto cangkir setengah penuh, dengan latar belakang estetik dan pencahayaan dari jendela jam 4 sore. Di luar, hidupnya berantakan. Tapi di dalam foto? Damai. Seimbang. Penuh harapan palsu.

Begitulah: kopi telah menjadi estetika. Rasanya nomor dua, asal tampilannya cukup “vintage” buat ditaruh di feed. Bahkan, kadang orang nggak ngerti dia minum apa. Yang penting bisa ditulis “ngopi dulu biar waras”. Padahal, yang bikin waras bukan kopinya, tapi validasi sosial berupa like dan DM dari orang yang nggak benar-benar peduli.

Kafe: Ruang Ibadah Baru Kaum Eksistensial

Kafe kini berfungsi seperti gereja urban. Setiap Sabtu sore, umat berdatangan. Mereka duduk, buka laptop, pakai headphone, atau berpura-pura membaca buku tebal terbitan luar negeri. Sesekali mengetik, lalu menatap jendela, seakan sedang berpikir tentang hidup dan masa depan, padahal cuma mikir: “Kapan ya ada yang nge-reply chatku?”

Kafe adalah tempat kita pura-pura produktif supaya merasa hidup kita ada arah. Padahal, kita cuma ingin kelihatan sibuk supaya tidak perlu menjelaskan ke orang tua: “Kerjamu tuh apa sih sebenernya?”

Eksistensi yang Diseduh Setiap Hari

Apa benar ngopi bisa menyelamatkan kita dari absurditas hidup? Mungkin tidak. Tapi minimal, ia memberi kita ritual kecil yang membuat kita merasa masih manusia. Seperti orang zaman dulu berdoa sebelum makan, sekarang kita foto kopi dulu sebelum menyeruputnya. Itu bukan karena kita sombong, tapi karena tanpa dokumentasi, kita takut tidak dianggap ada.

Bayangkan kamu minum kopi sendirian di pojok warung, tanpa story, tanpa tweet, tanpa saksi mata. Kamu menikmati aromanya, hangatnya, pahitnya. Tapi saat kamu pulang, tidak ada yang tahu kamu habis ngopi. Itu menyedihkan. Bahkan nyaris tidak nyata.

Di zaman ini, eksistensi kita tidak ditentukan oleh keberadaan, tapi oleh keterlihatannya. Dan kopi adalah alat bantu visual paling sah di peradaban ini, setelah cermin dan kamera depan.

Antara Arabika, Logika, dan Luka Lama

Kopi hari ini bukan lagi soal rasa. Ia adalah pengalaman sosial, estetika visual, dan kadang pelarian dari kekacauan batin yang tidak bisa dijelaskan. Kita tidak sedang mencari kafein, kita sedang mencari arti. Arti dari hidup yang terlalu cepat, dari cinta yang kabur seenaknya, dari kerja yang makin absurd, dan dari pertanyaan-pertanyaan eksistensial seperti: “Apakah aku benar-benar bahagia, atau cuma kenyang setelah makan donat di samping cappuccino?”

Ngopi hari ini bukan hanya tentang melek. Tapi tentang merasakan bahwa kita masih hidup, walau sebentar, walau cuma untuk diabadikan lewat story 30 detik.

Dan kalau kamu bertanya: “Apa salahnya difoto?” Jawabannya: tidak ada. Selama kamu sadar, bahwa kadang yang kamu cari bukan rasa, tapi pengakuan.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS