Empati Tidak Pernah Bertanya: “Tuhanmu Siapa?”

Oleh: Redaksi |


Di dunia ini banyak hal yang bisa mengguncang hati manusia. Tangisan bayi yang lapar. Seekor kucing yang kedinginan di pinggir jalan. Atau tumpukan utang yang terus menagih tanpa mengenal belas kasihan. Yang menarik, semua getaran empati itu muncul tanpa menunggu kartu anggota agama. Ia tidak pernah mengetuk pintu hati lalu bertanya, “Kamu beragama nggak?” atau “Tuhanmu siapa?”

Empati datang begitu saja. Kadang sebagai dorongan untuk menolong, kadang sebagai tetes air mata yang tak tertahan. Ia muncul dalam hati siapa saja, baik yang percaya bahwa hidup ini ada dalam kendali Tuhan, maupun yang percaya bahwa semesta ini adalah hasil ledakan takdir tanpa desain.

Seorang ateis bisa menangis di pemakaman. Seorang teis bisa memberi makan orang miskin tanpa berharap pahala. Karena, pada akhirnya, rasa kemanusiaan jauh lebih purba daripada doktrin. Sebelum manusia mengenal surga dan neraka, ia sudah tahu rasa sakit dan cinta. Sebelum ada kitab suci, sudah ada tangisan dan pelukan.

Empati Bukan Hak Paten Agama

Kita terbiasa mengaitkan kebaikan dengan iman. Seakan-akan hanya orang beragama yang bisa bersikap mulia. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Ada banyak orang yang tidak percaya Tuhan tapi justru sangat peduli terhadap sesama. Mereka berdonasi, menolong korban bencana, menjadi relawan kemanusiaan. Tidak ada yang mendorong mereka selain hati nurani dan kesadaran bahwa penderitaan adalah hal universal.

Sebaliknya, ada juga orang beragama yang justru gemar menghakimi. Merasa suci karena punya dalil. Merasa benar karena punya Tuhan. Tapi miskin welas asih.

Artinya? Kebaikan bukan monopoli siapa pun. Ia bukan hasil dari keyakinan semata, tapi dari keterbukaan hati. Dan tidak percaya Tuhan bukan berarti kehilangan moral, sama seperti percaya Tuhan bukan jaminan otomatis untuk jadi manusia baik.

Beda Tipis, Tapi Signifikan

Kalau begitu, apa sebenarnya yang membedakan ateis dan teis? Secara praktis, hanya satu: yang satu percaya bahwa Tuhan itu ada, yang satu percaya bahwa Tuhan itu tidak ada. Tapi dampaknya bisa menjalar ke cara memandang hidup.

Bagi seorang ateis, hidup tanpa Tuhan berarti hidup tanpa peta dari luar diri. Tidak ada surga untuk dikejar, tidak ada neraka untuk ditakuti. Tidak ada suara gaib yang menentukan mana celana yang pantas atau warna kuteks yang halal. Tapi bukan berarti hidup semaunya. Justru sebaliknya: tanggung jawab atas hidup sepenuhnya jatuh di pundak sendiri. Kalau gagal, ya gagal. Tidak bisa bilang “Ini rencana Tuhan.” Kalau menyakiti orang, ya harus minta maaf. Tidak ada jaminan pembersih dosa.

Sedangkan bagi teis, hidup terasa lebih terarah karena merasa selalu didampingi. Ada doa yang bisa diucapkan saat semua terasa gelap. Ada pengharapan bahwa segala absurditas ini akan punya makna suatu hari nanti. Dan itu memberi rasa tenang. Sebab absurditas memang lebih mudah dihadapi ketika kita percaya ada tangan tak terlihat yang mengatur semuanya.

Dua-duanya valid. Dua-duanya sah. Dua-duanya adalah cara manusia bertahan dari kekacauan hidup. Yang satu bertahan lewat kebebasan. Yang satu bertahan lewat keimanan. Dan tidak ada yang lebih superior dari yang lain.

Menjadi Ateis Itu Tidak Mudah

Kalau kamu tumbuh besar di lingkungan religius, kamu tahu betapa melelahkannya mempertanyakan semuanya. Dari ucapan “Selamat pagi” yang harus diikuti dengan doa, sampai aturan berpakaian yang katanya berasal dari wahyu. Setiap langkah kehidupan diwarnai tuntunan agama. Dari cara ngupil sampai cara mati.

Dan ketika kamu mulai mempertanyakan semuanya, kamu tidak hanya menghadapi kebingungan batin, tapi juga pandangan miring dari lingkungan. Kamu bukan hanya harus menyusun ulang makna hidup, tapi juga siap dianggap sesat, tersesat, bahkan terkutuk. Padahal kamu hanya bertanya. Hanya ingin tahu. Hanya mencoba menjadi manusia yang berpikir.

Jadi, menjadi ateis bukan cuma soal “tidak percaya Tuhan”. Tapi soal berani berpikir mandiri. Soal menyusun ulang makna hidup dari nol. Soal membangun moralitas bukan karena takut dosa, tapi karena sadar bahwa hidup bersama orang lain menuntut etika. Itu perjuangan yang tidak ringan. Bahkan kadang sepi. Tapi justru karena itulah, ia patut dihargai.

Akhir yang Tidak Menyalahkan

Pada akhirnya, manusia tetap manusia. Ia bisa menangis, mencintai, merasa sepi, atau ingin diselamatkan. Entah ia melihat ke langit dan berdoa, atau melihat ke dalam diri dan merenung, keduanya tetap sedang mencari arti.

Yang satu percaya akan diselamatkan oleh kekuatan di luar dirinya. Yang satu percaya bahwa ia sendiri yang harus menyelamatkan dirinya. Tapi ketika ada orang kesusahan di pinggir jalan, dua-duanya bisa berhenti dan memberi bantuan. Karena getaran empati tidak pernah bertanya: “Siapa Tuhanmu?” atau “Apa agamamu?”

Empati hanya tahu satu hal: bahwa penderitaan itu menyakitkan, dan kebaikan itu melegakan. Ia tidak butuh doktrin. Ia hanya butuh hati yang terbuka.

Mungkin, di dunia yang terlalu bising oleh debat teologis, kita perlu lebih sering diam sejenak dan mendengarkan tangisan manusia lain. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengerti. Karena sebelum ada agama, sebelum ada Tuhan, manusia sudah belajar menangis bersama.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS