![]() |
Delusi: Saat Kita Percaya Penuh Pada Kebohongan & Pembenaran Karangan Sendiri |
Jika kebohongan adalah pintu, dan pembenaran adalah ruang tamu, maka delusi adalah rumah yang kita bangun sendiri, lengkap dengan pagar, taman, dan Wi-Fi, lalu kita tinggali seolah itu satu-satunya realitas.
Delusi bukan sekadar salah paham. Ia adalah tahap lanjut dari auto-manipulasi. Kita tak lagi pura-pura percaya. Kita benar-benar percaya. Kita lupa mana bagian yang kita reka, mana bagian yang sungguh nyata.Bukan bohong lagi. Tapi hidup dalam cerita yang kita karang sendiri, dengan keyakinan yang teguh dan dada yang mantap. Dan yang lebih seram: kita merasa waras-waras saja.
Awal mula delusi seringkali sederhana. Kita tahu bahwa kita mengarang sesuatu, entah untuk menjaga diri, menyelamatkan harga diri, atau karena takut kehilangan sesuatu.
Tapi karena narasi itu terus diulang, dibenarkan, dan didukung oleh berbagai alasan yang “masuk akal”, lama-lama ia menjadi kenyataan dalam kepala kita. Seperti kaset yang diputar terus-menerus sampai akhirnya jadi background noise, lalu jadi suasana ruangan, lalu jadi satu-satunya lagu yang kita tahu.
Kita tak lagi ingat bahwa itu hanya karangan.
Contoh:
- “Aku ini orang yang susah percaya sama orang karena pernah disakiti.” (Padahal kamu cuma belum pernah buka diri. Tapi cerita ini lebih dramatis dan bisa dipakai sebagai tameng.)
- “Aku memilih sendiri karena aku kuat.” (Padahal kamu takut ditolak.)
- “Orang-orang nggak ngerti aku karena aku terlalu dalam berpikir.” (Padahal kamu malas berkomunikasi.)
Dan ketika dunia tak sesuai harapan, kita merasa diserang. Padahal mungkin dunia hanya, jujur. Masalahnya, delusi itu nyaman, tapi bikin mati pelan-pelan.
Delusi menyelamatkan harga diri, tapi membunuh pertumbuhan. Karena kalau kita terus percaya bahwa semua masalah datang dari luar, kita tak pernah belajar memperbaiki dalam. Kita merasa baik-baik saja, padahal stagnan. Kita merasa in control, padahal justru dikendalikan oleh narasi palsu yang kita bangun.
Paling menyakitkan: delusi sering membuat kita kehilangan orang-orang yang sebenarnya peduli. Karena setiap koreksi terasa seperti serangan. Setiap kritik dianggap ancaman. Setiap ajakan berubah dianggap penghinaan terhadap “versi diri kita yang sudah mapan”.
Lalu, Apakah Semua Orang Berdelusi? Sebagian besar, ya. Termasuk yang nulis ini. Delusi bukan hal yang hanya terjadi pada mereka yang “tidak rasional”. Bahkan orang paling pintar pun bisa hidup dalam delusi, bedanya, delusi mereka dikemas dengan istilah ilmiah dan teori psikologi. Tetap karangan, hanya versi akademik. Dan itu yang bikin delusi jadi sulit dikenali: ia sering terlihat rapi, berkelas, dan meyakinkan.
Bisa nggak bangun dari delusi? Sakit. Tapi tungkin.
Keluar dari delusi bukan mencari kebenaran, tapi mengakui kemungkinan bahwa, “Mungkin, saya salah.” Itu kalimat sederhana yang sangat tidak nyaman. Tapi sangat membebaskan.
Tidak ada cara instan untuk menyadari delusi. Tapi kita bisa mulai dari mendengarkan. Memperhatikan reaksi kita ketika dikritik. Mengamati pola-pola yang terus berulang dalam hidup kita. Dan bertanya dengan jujur: “Apa ini benar? Atau ini hanya nyaman?”
Delusi tumbuh dari keinginan untuk melindungi diri. Tapi perlindungan yang berlebihan malah menciptakan penjara. Dan penjara yang paling sulit ditinggalkan adalah yang kita percaya sebagai rumah.
Hidup dalam delusi itu seperti memakai kacamata VR terlalu lama. Kita lupa dunia nyata lebih kasar, tapi juga lebih jujur. Lebih getir, tapi juga lebih hidup.
Karena hanya di dunia nyata kita bisa tumbuh. Bukan sebagai tokoh utama dari narasi palsu. Tapi sebagai manusia biasa yang kadang salah, kadang takut, tapi berani mengakuinya. Dan itu jauh lebih sehat dari hidup dalam drama yang kita tulis sendiri.