Dari “Harusnya Begini” ke “Ya Sudahlah”

Oleh: Redaksi |
Dari “Harusnya Begini” ke “Ya Sudahlah”
Ada masa ketika kita mengira pertumbuhan itu seperti naik tangga: dari titik A ke titik B, makin tinggi, makin dewasa, makin paham dunia. Tapi kenyataannya lebih seperti, menyebur ke sungai. Arusnya deras, kita cuma bisa berenang seadanya, dan kadang yang kita sebut “bertumbuh” sebenarnya hanyalah keberhasilan untuk tidak tenggelam terlalu cepat. Apakah itu bertumbuh, atau sebenarnya kita berdamai dengan standar yang lebih rendah? Apakah itu evolusi, atau… eufemisme dari menyerah?

Kita pernah punya pendapat kuat, meyakinkan, ideal: tentang cinta, pekerjaan, cara hidup. Kita bilang: harus begini. Tidak boleh begitu. Tapi waktu berjalan, hidup datang dengan tenaganya sendiri, dan pelan-pelan opini kita mulai bergeser. Dulu kita sinis pada orang-orang yang menikah muda, sekarang kita menghindari undangan karena kita iri. Dulu kita yakin hidup tidak boleh bergantung pada uang, sekarang kita hitung diskon, cicilan, dan promo di aplikasi hijau. Dulu kita tertawa melihat orang yang “main aman”, sekarang kita jadi versi lebih tenangnya.

Lucunya, kita membungkus semua perubahan itu dengan satu kalimat sakti: “aku sudah bertumbuh.” Padahal dalam hati kita tahu, ada bagian dari kita yang sebenarnya hanya sedang menyesuaikan diri. Bukan karena tercerahkan, tapi karena lelah melawan. Bukan karena kita berubah pikiran, tapi karena terlalu sering patah harapan.

Sebab mengaku kalau kita kecewa, kalah, atau capek, itu terlalu telanjang, maka lebih milih mengatakan: 
“Aku nggak akan terlalu ngoyo kayak dulu.”
“Sekarang aku realistis aja.”
“Aku nggak mau lagi buang energi buat hal-hal yang nggak bisa aku ubah.”
Padahal di dalam hati: 
Kita masih pengin memperjuangkan sesuatu. 
Kita masih sedih dan iri waktu lihat orang lain tetap idealis. 
Kita masih rindu versi diri yang dulu berani mengatakan “tidak” saat yang lain mengatakan “iya”.
Tentu saja, menyesuaikan diri bukan dosa. Dunia memang tidak bisa kita kendalikan seenaknya. Kita perlu bertahan, menyesuaikan, berkompromi. Tapi seiring waktu, yang sulit bukan lagi soal beradaptasi, yang sulit adalah menyadari: apa aku sedang bertumbuh, atau aku sedang membungkam diriku sendiri pelan-pelan?

Masalah bukan pada penyesuaiannya. Tapi saat kita terlalu sibuk menyebutnya “tumbuh,” kita lupa mengakui bahwa ada yang hilang di perjalanan. Dan kehilangan yang tidak diakui, biasanya akan jadi kemarahan yang tidak jelas arahnya. Atau… jadi sinisme yang kita bungkus sebagai “sarkasme elegan.”

Bertumbuh seharusnya tidak membuat kita kehilangan arah. Seharusnya tidak membuat kita merasa kosong di tengah stabilitas. Dan, mungkin bertumbuh itu juga bukan soal berubah jadi dewasa versi masyarakat. 

Tapi:
  • Tetap bisa pegang nilai, meski tangan gemetaran. 
  • Tetap bisa bilang “tidak”, meski kita butuh uangnya. 
  • Tetap bisa jujur, meski tahu kejujuran itu tak laku di feed explore. 
Kalau kita memang harus menyesuaikan diri, itu pun sah. Tapi jangan sampai lupa bahwa kita pernah punya mimpi yang lebih besar dari ini. Bukan untuk membuat kita sedih, tapi supaya kita tetap tahu arah pulang.

Coba lihat kita sekarang: tenang tapi asing, damai tapi datar, berjalan tapi tak tahu lagi menuju kemana. Kita tersenyum di ruang-ruang yang dulu kita hindari, kita bicara dengan bahasa yang dulu kita anggap basi. Kita menyebutnya dewasa. Padahal, kadang rasanya seperti jadi penumpang di kapal yang tujuannya sudah dipilih orang lain. 

Di dalam diri kita, ada versi lama yang kadang muncul diam-diam. 
  • Versi yang dulu menolak lembur demi integritas. 
  • Versi yang dulu menulis tanpa peduli engagement. 
  • Versi yang dulu percaya bahwa jadi baik itu lebih penting daripada jadi sukses.
Jangan langsung usir dia. Mungkin cuma bukan waktunya dia memimpin hidup kita lagi, tapi jangan kunci dia di gudang. Sesekali, duduklah dengannya. Ajak dia ngopi. Dengar ulang cerita-ceritanya. Dan mungkin, pelan-pelan, kita akan ingat: Bahwa yang kita sebut bertumbuh, kadang hanyalah cara halus untuk tetap bertahan, di dunia yang pelan-pelan mengikis keberanian.

Dan di malam yang sepi, saat semua topeng ditanggalkan, ada bisikan yang muncul: ini aku yang tumbuh, atau aku yang kalah?

Tidak semua penyesuaian itu buruk. Tapi tidak semua layak kita rayakan sebagai pertumbuhan. Kadang yang kita perlukan bukan lebih banyak kompromi, tapi keberanian untuk mengakui bahwa kita rindu jadi versi diri yang dulu, yang naif, mungkin. Tapi jujur.

Mungkin saat ini kita belum bisa kembali ke idealisme lama. Tapi semoga, kita tidak lupa jalan pulangnya.

—Ditulis saat setelah (melamun) dapat tawaran menggantikan Gibran
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS