![]() |
Gambar: Arah Juang |
Pada 1 Mei 2025, enam kawan kita ikut aksi Hari Buruh di Semarang. Aksi damai, penuh semangat kolektif. Tapi menjelang sore, kericuhan terjadi. Polisi bilang ada kelompok berpakaian hitam yang membakar ban, melempar batu, botol, dan besi ke arah petugas. Enam orang ditangkap, dituduh sebagai dalang kerusuhan, dan langsung dijerat pasal pidana. Pasal 214 dan 170 KUHP dibuka seperti kartu truf, dilempar ke meja sambil berkata: “Kami punya dua alat bukti.”
Tapi tunggu dulu, ini negeri yang sama kan, yang pernah bikin anak 16 tahun tewas ditembak polisi, lalu narasinya kronologinya berubah-ubah kayak status mantan: antara peluru nyasar, peringatan, atau “prosedur tetap” yang entah siapa yang tetapkan. Dan jangan lupa, ini juga negeri yang sama di mana gas air mata bisa bikin stadion jadi kuburan massal, lalu narasinya dibilang “kena angin”. Angin jenis apa yang bisa nyasar ke tribun dan bikin ratusan orang nggak pulang?
Apalagi menurut LBH Semarang, justru aparatlah yang lebih dulu brutal: menembakkan gas air mata, menyemprot water cannon, mengejar hingga ke dalam kampus Undip, memukuli dan menangkap mahasiswa. Jadi siapa sebenarnya yang mulai rusuh?
Negara ini makin lihai membungkus ketakutannya. Lebih cepat menangkap mahasiswa bawa spanduk daripada mengejar cukong pakai jas safari yang ngemplang ratusan miliar. Perjuangan jadi kriminal, sementara kriminal malah jadi komisaris, duduk manis, gaji fantastis, tinggal tunggu dividen sambil ngetawain rakyat yang demonstrasi.
Di tengah dunia yang jungkir balik begini, enam kawan kita bukan ancaman, mereka pengingat. Di tengah kebisingan mesin-mesin kekuasaan, mereka adalah alarm kewarasan yang masih berani berbunyi. Bukan perusuh. Bukan anarko. Mereka cuma belum lulus dari Fakultas Diam dan Pasrah, tempat sebagian dari kita sudah jadi alumnus tetap.