![]() |
Ilustrasi Audit di Atas Meja, Duit di Bawah Meja |
Apakah opini WTP benar-benar murni, atau hanya sekadar formalitas yang bisa dinegosiasikan?
WTP, secara teknis, adalah pengakuan bahwa laporan keuangan disusun sesuai standar dan tidak ditemukan penyimpangan material. Tapi dalam praktik, tidak sedikit daerah yang mendapat WTP justru terlibat dalam kasus korupsi besar. Ironisnya, beberapa di antaranya bahkan diseret KPK hanya beberapa bulan setelah menerima opini tertinggi tersebut. Ini bukan kebetulan, tapi pola. Dan setiap pola yang berulang menuntut penyelidikan lebih dalam.
Apakah mungkin auditor bisa luput dari penyimpangan besar? Mungkin. Terlebih lagi, kasus dugaan suap terhadap auditor BPK yang pernah mencuat ke publik memperkuat asumsi bahwa opini bisa “diusahakan”, asal tahu caranya, atau kenal orang dalamnya. Dalam dunia birokrasi kita yang penuh kepentingan, netralitas seringkali menjadi korban dari diplomasi bawah meja.
Yang lebih mengkhawatirkan, opini WTP kini dijadikan alat pencitraan politik. Kepala daerah menjualnya sebagai bukti keberhasilan, padahal yang dinilai hanya tata kelola laporan, bukan tata kelola kebijakan. Akuntansi yang rapi tidak menjamin keadilan sosial berjalan. Angka bisa dipoles, tapi kenyataan di lapangan tak bisa dibungkam: jalan rusak, pelayanan publik buruk, dan warga masih antre berjam-jam untuk layanan dasar.
Maka publik berhak curiga. Sebab, ketika yang dipoles adalah catatan, tapi realitas tetap carut-marut, mungkin yang kita rayakan bukan WTP sejati, melainkan WTP palsu yang dilumuri pencitraan dan kepentingan. Jika audit berubah menjadi arena dagang pengaruh, maka integritas laporan keuangan negara hanya akan jadi sandiwara tahunan dengan judul: “Semua Baik-Baik Saja, Asal Tak Diperiksa Lebih Dalam.” What The Fuck !