Sosrokartono: Si Jenius yang Memilih Sunyi

Oleh: Redaksi |

Sumber foto: Wikipedia

Kalau kamu kenal R.A. Kartini, kamu juga harus kenal kakaknya, Sosrokartono. Tapi jangan bayangkan ini kisah kakak-adik biasa. Sosrokartono adalah semacam jenius sunyi, poliglot dunia, wartawan perang, filsuf nyentrik, dan penyembuh spiritual yang memilih hidup di luar radar sejarah besar.

Di tengah euforia kemerdekaan dan modernitas, Sosrokartono justru mengajak kita kembali ke diri sendiri. Di saat orang bicara revolusi dengan senjata, dia bicara tentang “air putih” dan “hati yang bersih”. Siapa sebenarnya Sosrokartono? Dan apa yang bisa kita pelajari dari jejaknya yang senyap tapi dalam?

Sosrokartono: Antara Barat dan Timur

Sosrokartono lahir tahun 1877 dari keluarga bangsawan Jawa. Ia adalah kakak kandung dari Kartini, dan sama seperti adiknya, mendapatkan kesempatan langka untuk mengenyam pendidikan Eropa. Tapi dia tidak berhenti di sana.

Ia kuliah di Belanda, fasih lebih dari 17 bahasa, dan menjadi wartawan perang untuk surat kabar Belanda saat Perang Dunia I menjadikannya satu-satunya orang Jawa di jantung pergolakan global Eropa saat itu. Ia menjadi semacam “intelijen intelektual” Nusantara, menyerap ilmu, memahami dunia, lalu pulang bukan untuk menguasai, tapi menyepi.

Menolak Kemegahan, Memilih Kesunyian

Setelah kembali ke Hindia Belanda, Sosrokartono ditawari jabatan penting oleh pemerintah kolonial dan organisasi elite. Tapi semuanya ia tolak. Ia memilih menjadi tabib di Prawoto, sebuah desa sunyi di lereng gunung Muria. Obatnya cuma air putih dan doa.

Bagi banyak orang, itu terdengar seperti kegilaan. Tapi justru di sanalah terletak ide besar Sosrokartono: bahwa ilmu sejati bukan tentang kekuasaan, tapi tentang pelayanan; bukan tentang popularitas, tapi tentang penghayatan batin yang mendalam.

Konsep “Sugih Tanpa Banda, Digdaya Tanpa Aji”

Salah satu ajaran khas Sosrokartono adalah semboyan:

Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake. (kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat, menyerang tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan.)

Ini bukan sekadar pepatah bijak, tapi kerangka hidup spiritual-politik. Dalam dunia yang makin riuh dan kompetitif, Sosrokartono mengajukan alternatif radikal: menjadi kuat bukan karena kekuasaan, tapi karena kejernihan batin.

Baginya, peradaban bukan dibangun dari pabrik dan politik, melainkan dari kesadaran manusia terhadap nilai-nilai luhur: kejujuran, kesabaran, kesederhanaan.

Ilmu Batin dan “Air Putih”

Salah satu aspek paling kontroversial dalam kehidupan Sosrokartono adalah praktik penyembuhan dengan air putih dan doa. Banyak orang datang dari jauh hanya untuk mendapat setetes air dan secarik tulisan darinya, yang konon menyembuhkan berbagai penyakit.

Apa pun pendapatmu, hal ini bukan soal mistik, tapi soal kepercayaan dan bahasa simbolik. Air putih adalah lambang kejernihan, kesederhanaan, dan kehidupan. Di balik praktik itu, tersimpan pesan spiritual yang dalam: bahwa manusia harus kembali pada kesadaran yang jernih, tidak terjerat ambisi, dan hidup dalam keseimbangan.

Sosrokartono vs Dunia Modern: Sebuah Kritik Diam-Diam

Dalam banyak hal, Sosrokartono adalah kritik hidup terhadap zaman. Ia melihat pendidikan sebagai alat untuk menumbuhkan kebijaksanaan, bukan sekadar karier. Ia melihat pengetahuan sebagai jalan pulang, bukan tiket naik kasta sosial. Ia tidak menolak modernitas, tapi menolak arus keserakahan yang sering menyertainya.

Ketika dunia bicara soal “kemajuan”, Sosrokartono bertanya:

Kemajuan ke arah mana? Dan untuk siapa?

Warisan Tanpa Monumen

Sosrokartono tidak meninggalkan partai, manifesto politik, atau karya teoretis yang tebal. Tapi ia meninggalkan jejak pemikiran dan praktik hidup yang menjadi inspirasi diam-diam bagi banyak tokoh besar, termasuk Ki Hadjar Dewantara dan para tokoh Taman Siswa.

Ia adalah simbol bahwa kesunyian bisa menjadi perlawanan, dan bahwa spiritualitas bisa menjadi revolusi.

Mendengar yang Tak Terdengar

Di era digital yang bising ini, suara Sosrokartono terdengar seperti bisikan dari dunia lain, lembut, lambat, tapi menggugah. Ia tidak menawarkan solusi instan, tapi mengajak kita bertanya ulang:

  • Untuk apa kita hidup?
  • Apakah pengetahuan membuat kita makin bijak atau makin sombong?
  • Apakah kita benar-benar “maju”, atau hanya makin jauh dari diri sendiri?

Mungkin di tengah algoritma dan kapitalisme yang mendikte hidup kita, sudah waktunya kita belajar dari si jenius yang memilih jalan sunyi. Sebab kadang, yang paling dalam justru lahir dari yang paling diam.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS