Socrates: Filsuf yang Terjerat Pasal 156a KUHP

Oleh: Redaksi |

Ilustrasi AI

Di antara begitu banyak tokoh besar dalam sejarah, hanya sedikit yang bisa membuat orang merasa bodoh hanya lewat obrolan santai. Sokrates adalah salah satunya.

Dia bukan motivator, bukan penulis buku laris, bahkan dia tidak pernah menulis apa-apa. Tapi warisannya masih bikin kepala kita gatal sampai hari ini, karena senang membongkar semua keyakinan yang kita pikir sudah solid.


Sokrates bukan selebgram, juga bukan YouTuber. Kalaupun dia hidup di zaman sekarang, punya akun IG dan kanal Youtube, mungkin tidak punya banyak follower atau subsciber. Karena kerjaannya cuma bertanya, bertanya dan bertanya, bukan untuk dapat jawaban, tapi untuk membongkar seberapa ngawurnya keyakinan kita.


Pertanyaanya tidak layaknya manusia pada umumnya seperti: "Udah makan?" atau "Lagi sibuk nggak?", Tapi pertanyaan yang bisa membuat kamu mempertanyakan seluruh keberadaanmu. Menggoncang seluruh pondasi keimananmu. Contoh:

Menurutmu bahagia itu apa?
Apakah kamu sedang bahagia?
Dan kenapa kamu yakin kamu bahagia sekarang?
Apa yang membuatmu yakin? 
Menurutmu keyakinan itu apa?


Sokrates: Filsuf atau Host Podcast Filosofi Hidup?


Sokrates adalah bapak filsafat Barat. Tapi gayanya lebih cocok dibilang seperti host podcast "Filosofi Hidup" yang hobinya membuat orang galau. Dia tidak pernah menulis buku, semua ide dan pemikirannya ditulis oleh muridnya, Plato. Bisa dibilang, Plato itu admin yang selalu standby mencatat omongan Sokrates. Kalau hari ini mungkin Sokrates itu seperti influencer yang kontennya viral lewat orang lain.


Sokrates punya metode andalan, Elenchus alias 'metode sokratik, sebuah seni bertanya sampai lawan bicara merasa tidak tahu apa-apa. Metode sokratik, atau elenchus, pada dasarnya adalah debat. Tapi bukan debat di Twitter yang isinya serang personal dan quote-quote hoaks. Ini debat elegan yang tujuannya bukan menang, tapi menyadarkan bahwa kita sebenarnya tidak tahu Ð°Ñ€Ð°-ара. Misalnya:

Sokrates: "Menurutmu keadilan itu apa?" 

Kita: "Yaa... memberi apa yang pantas kepada setiap orang."

Sokrates: "Siapa yang menentukan apa yang pantas?"

Kita: "Emm... ya hukum?"

Sokrates: "Lalu kalau hukum tidak adil, apakah itu tetap pantas?"

Dan begitulah terus sampai kita menyerah dan ingin blokir nomor WA-nya.


Aku Tahu Bahwa Aku Tidak Tahu


Di era medsos, di mana semua orang merasa wajib punya opini tentang semua hal, era di mana orang lebih rela share sesuatu daripada sharing, Sokrates hadir dan membuat orang tidak nyaman Karena ia memaksa untuk mikir. Dan mikir itu capek, bisa overthinking. Tapi mikir itu membuka kemungkinan bahwa semua yang kita yakini selama ini mungkin hanya hasil ikut-ikutan.


Disaat orang lain lantang merasa tahu segalanya, Sokrates justru bangga mengakui bahwa ia tidak tahu. Itu bukan kelemahan, tapi kekuatan. Sebab ia percaya bahwa mengaku tidak tahu adalah awal dari kebijaksanaan.


Sokrates vs Netizen Yunani


Di zamannya, Sokrates dianggap mengganggu ketertiban umum. Dia dituduh meracuni pikiran anak-anak muda dan tidak percaya pada dewa-dewa resmi negara. Kalau sekarang, mungkin dia dibilang anti pemerintah dan bakal terjerat kasus penistaan agama.


Hasilnya? Dia dihukum mati. Padahal, yang dia lakukan hanya mengajak orang mikir. Tapi memang, berpikir itu kadang lebih mengancam dari senjata. Karena kalau orang bisa mikir sendiri, mereka jadi tidak gampang disetir.


Alih-alih kabur atau minta maaf, ia malah minum racun, dan menerima kematian. Bukan karena cari sensasi, tapi karena dia percaya pada integritas pikirannya.


Di zaman sekarang, bahkan influencer paling kontroversial pun bakal klarifikasi atau rebranding. Tapi Sokrates? Dia literally mati demi prinsip.


Self-Knowledge: Antara Jujur Sama Diri dan Overthinking


"Kenalilah dirimu sendiri." Kalimat paling legendaris dari Sokrates. Kedengarannya kayak self-help quotes di Pinterest. Tapi ini bukan ajakan untuk ikut kelas healing, bukan ajakan untuk jadi narsistik atau posting hasil tes kepribadian tiap minggu. Ini ajakan brutal untuk jujur total, tentang siapa kamu, apa yang kamu tahu, apa yang kamu kira kamu tahu, dan kenapa kamu percaya itu.


Sokrates mengajak kita bukan untuk jadi pintar, tapi jadi jujur. Jujur terhadap kebingungan, terhadap pertanyaan-pertanyaan yang belum kita jawab, dan terhadap kenyataan bahwa hidup itu kompleks, absurd, dan kadang lebih banyak plot twist-nya daripada drama Korea.


Akhir Kata dari Filsuf yang Paling Susah

Didebat


Sokrates tidak pernah memberi kebenaran instan. Dia bukan motivator. Dia pengacau, tapi pengacau yang peduli. Dan mungkin itu yang kita butuh hari ini, bukan orang yang kasih jawaban cepat, tapi yang mau duduk, ngobrol, dan mengajak mikir ulang semua hal yang terlanjur kita anggap pasti.


Di tengah dunia yang sibuk mengejar validasi, kadang hal paling jujur adalah mengatakan: "Aku

nggak tahu."


Kalau kamu sudah bisa mengatakan itu tanpa takut dianggap bodoh, Selamat! Kamu sudah lulus kelas pertama dari Universitas Sokrates. Biaya kuliahnya? Cuma satu: tahan ego dan mulai mikir. Eh, dua.


Kenalilah dirimu sendiri, tapi jangan lupa, kenalilah juga batasanmu, keinginanmu, dan playlist Spotify-mu yang sebenarnya tidak mencerminkan dirimu seperti yang kamu kira.


Dan kalau kamu hari ini bingung, banyak tanya, dan merasa tidak tahu apa-apa, sekali lagi Selamat! Mungkin kamu sudah dekat dengan kebijaksanaan dari yang kamu kira. Atau… kamu cuma lapar.



Catatan dari Mimin

Tulisan ini sudah pernah nampang di Medium

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS