Revolusi Media: Dari Pemburu Fakta ke Tukang Poles Citra

Oleh: Redaksi |

https://letternews.net/wp-content/uploads/2022/01/lukisan-wartawan-850x560.jpeg

Ada masa ketika jurnalis itu seperti detektif: sibuk mengendus bau busuk dari balik pintu kekuasaan. Tapi hari ini? Banyak media malah berubah jadi megafon elite, kayak sound system konser dangdut, keras, tapi cuma nyuarain apa yang disuruh.

Media seharusnya jadi alat pengawasan. Tapi sekarang, berita yang kita baca kayak siaran humas resmi: semua terlihat manis, rapi, harum seperti brosur sabun cuci piring. Padahal kenyataannya mungkin kusut, bau, dan penuh kerak. Banyak berita sekarang bukan hasil investigasi, tapi hasil fotokopi konferensi pers. Boro-boro kritis, yang penting cepat upload dan dapat iklan.

Ini bukan salah satu dua wartawan yang “lupa cara bertanya”. Ini sistem yang dibangun buat lebih ngurusin hati pejabat daripada nanya kebenaran. Jurnalis dipaksa main aman, kayak orang pacaran yang takut ditinggalin. Akhirnya, berita-berita kita lebih cocok disebut “konten persetujuan” daripada “laporan pencarian fakta”.

Dan parahnya lagi, banyak yang nggak sadar bahwa jurnalisme itu beda sama kehumasan. Kehumasan itu tugasnya bikin citra bagus, kayak makeup artis sebelum manggung. Jurnalisme? Harusnya kayak tukang gali sumur: kotor, capek, tapi penting biar orang bisa minum. Kalau media berubah jadi tukang poles citra, ya rakyatnya kehausan informasi, minumnya malah air sabun.

Kondisi tambah parah pas uang mulai berbicara. “Jurnalisme gincu” istilahnya: berita dipoles, dikasih shimmer, dikasih glitter, asal klien senang dan kasir berbunyi “cha-ching.” Integritas? Ah, nanti dulu, yang penting invoice cair. Banyak media lebih takut kehilangan sponsor daripada kehilangan akal sehat.

Oligarki tepuk tangan dari belakang layar. Mereka beli media, mereka bentuk narasi, mereka tentukan siapa yang jadi pahlawan, siapa yang harus diframing kayak maling jemuran. Lama-lama, standar jurnalisme kayak ujian akhir sekolah yang bocor sebelum hari H, semua orang tahu jawabannya, tapi nggak ada yang peduli caranya.

Kalau ini terus dibiarkan, kita bukan lagi hidup di zaman informasi. Kita hidup di zaman teater boneka, di mana berita adalah pertunjukan, dan rakyat adalah penonton yang dipaksa tepuk tangan.

Maka mau nggak mau, jurnalisme harus kembali ke prinsip dasarnya: cari kebenaran, buka semua yang disembunyikan, meskipun hasilnya bikin mules semua pihak. Media harus lebih takut kehilangan akal daripada kehilangan iklan. Wartawan harus lebih berani nyebur ke got fakta daripada berenang di kolam jacuzzi pejabat.

Kalau tidak, kita bakal terus hidup di dunia penuh berita glossy, penuh pujian palsu, sambil pelan-pelan kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar trending topic: kebenaran.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS