Ranggawarsita: Eksistensialis Jawa Sebelum Ada Sartre

Oleh: Redaksi |
Ranggawarsita | Sumber foto: Wikipedia

Kalau para filsuf Eropa sibuk memikirkan absurditas manusia di hadapan Tuhan dan sejarah, di Jawa abad ke-19, seorang pujangga bernama Ranggawarsita sudah menulis kegelisahan yang sama, dalam tembang dan serat. Tapi ia tidak menulis dengan jargon rumit atau teori kering. Ia menulis dalam bahasa yang bisa dirasakan: tentang zaman yang rusak, manusia yang lupa diri, dan harapan samar di tengah kerusakan semesta.

Ranggawarsita bukan sekadar pujangga. Ia adalah pengamat zaman, filosof batin, dan mungkin juga pesimis spiritual, yang tetap menulis, meski tahu dunia sedang menuju kerusakan.

Siapa Ranggawarsita?

Raden Ngabehi Ranggawarsita (1802–1873) adalah pujangga keraton Surakarta yang lahir dalam keluarga ningrat. Ia dididik dalam tradisi Jawa klasik, belajar dari naskah-naskah kuno, dan menulis ratusan karya sastra dari serat (esai tembang), babad (sejarah), sampai primbon (petunjuk hidup).

Tapi jangan pikir dia cuma juru tulis kerajaan. Ranggawarsita adalah penyair kritis, pengamat sosial, dan pembaca zaman yang tajam. Ia sadar bahwa zamannya sedang berubah. Kolonialisme merajalela. Etika keraton hancur. Masyarakat bingung antara adat dan modernitas.

Ramalan Zaman Edan: Filsafat atau Putus Asa?

Salah satu karya paling terkenal Ranggawarsita adalah konsep tentang Zaman Edan (Zaman Kalabendu), yang muncul dalam banyak seratnya, terutama Serat Kalatidha. Ia menulis:

Zaman edan, yen ora edan ora keduman. (Zaman gila, kalau tidak ikut gila, tidak kebagian.)

Di sini, Ranggawarsita tidak sedang menyerah pada kegilaan zaman, tapi justru menyatakan pilihan yang rumit: hidup di zaman rusak tanpa ikut rusak, atau minimal, rusak dengan sadar dan tanggung jawab.

Ia mengajak kita untuk tetap waras, meski hidup di dunia yang gila. Ini semacam eksistensialisme ala Jawa: menjadi baik di dunia yang tidak baik adalah penderitaan, tapi itulah jalan utama.

Dunia yang Semakin Luntur: Krisis Nilai dan Budaya

Bagi Ranggawarsita, zaman edan bukan soal kelucuan atau kekacauan saja. Itu adalah tanda bahwa nilai-nilai luhur mulai menghilang. Dalam Serat Kalatidha, ia menggambarkan masyarakat yang sudah tidak tahu mana benar mana salah, pemimpin yang hanya mengejar kekuasaan, dan rakyat yang kehilangan arah hidup.

Kalau kamu merasa ini seperti Indonesia hari ini, kamu tidak salah. Itulah kenapa karya Ranggawarsita terasa masih hidup, karena kerusakan zaman adalah siklus, bukan kejadian tunggal.

Bukan Ramalan, Tapi Kritik Sosial

Sebagian orang menganggap Ranggawarsita sebagai peramal, semacam “Nostradamus-nya Jawa”. Tapi jika dibaca lebih dekat, karya yang sering dianggap sebagai ramalan bukan sekadar nubuat, tapi metafora sosial dan kritik batin. Ia membaca pola-pola sejarah dan perubahan sosial, lalu menulisnya dengan gaya simbolik. Ia tahu bahwa masa depan bukan sekadar nasib, tapi hasil dari kebijakan hari ini.

Warisan yang Diabaikan, Tapi Terus Hidup

Meski Ranggawarsita disebut sebagai “pujangga terakhir”, bukan berarti ia benar-benar terakhir. Ia adalah batas antara dunia lama dan dunia modern. Karyanya menjadi jembatan, pengingat bahwa di balik slogan-slogan pembangunan, ada peradaban batin yang terus menjerit.

Hari ini, ketika orang bingung, resah, merasa dunia tidak masuk akal, mungkin kita sedang hidup di Zaman Edan yang dulu Ranggawarsita ‘ramalkan’. Dan barangkali kita bisa belajar darinya: tidak perlu menjadi nabi, cukup menjadi manusia yang tidak ikut rusak.

Menulis di Tengah Kekacauan

Ranggawarsita tidak hidup di dunia ideal. Ia hidup di masa penjajahan, di keraton yang mulai korup, dan di tengah masyarakat yang kehilangan pijakan. Tapi ia tetap menulis.

Menulis, bukan untuk mengubah dunia. Tapi untuk menjaga agar dunia tidak membuat kita lupa siapa kita. Dan itu, mungkin, adalah satu-satunya bentuk perlawanan yang masih masuk akal hari ini.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS