![]() |
Ilustrasi AI |
Ada satu hal yang tak tertulis dalam Undang-undang, tapi hidup dalam darah dan nadi sebagian besar umat manusia: Ngaret. Ia bukan sekadar kebiasaan datang terlambat. Ia adalah sebuah filsafat hidup. Sebuah relativitas waktu yang dapat ditarik dan dipelintir sesuai keinginan, perasaan, dan kadang, cuaca. Sebuah seni kehidupan yang lebih lentur dari yoga, lebih rumit dari filsafat Kant, dan lebih tahan banting dari hubungan tanpa status.
Ngaret bukan cuma soal keterlambatan, tapi cara eksistensial untuk melawan sistem waktu yang terlalu presisi. Ngaret bukan dosa. Tapi juga bukan pahala. Ia adalah ambiguitas kultural. Sebuah etika tak kasat mata yang mengatakan: “Waktu bukan Tuhan, jadi ngapain disembah?”
Bagi para penghayat ngaret, waktu adalah kemungkinan, bukan kepastian. “Jam 3 sore” bisa berarti “kapan aja setelah makan siang, sebelum ngantuk malam.” Dan kalau dibilang “OTW”, itu bukan indikator posisi, tapi niat spiritual. Dalam logika ngaret, janji pukul 10.00 berarti “berangkat jam 10.00,” bukan “datang jam 10.00.”
Sebagian orang ngaret karena jalanan, sebagian lagi karena memang belum niat hidup. Tapi ada juga yang ngaret sebagai bentuk perlawanan terhadap tatanan dunia yang terlalu disiplin. Ini semacam bentuk anarkisme pasif, bentuk perlawanan halus terhadap kapitalisme waktu.
Di dunia yang mengukur segalanya dengan produktivitas, ngaret adalah meditasi pasif. Orang ngaret itu sedang bertapa. Sedang merenung. Sedang menunda dunia. Ngaret adalah cara diam-diam untuk berkata: “Saya bukan budak waktu. Saya budak rebahan.”
Ngaret bukan hanya soal keterlambatan, tapi juga soal kekuasaan. Siapa yang datang terakhir, seringkali dianggap yang paling penting. Presiden telat, dianggap wajar. Temanmu telat, tidak dianggap presiden, eh. Maka ngaret adalah piramida sosial berbasis waktu. Semacam kasta yang ditentukan oleh jam tangan dan kadar rasa bersalah.
Tapi justru di situlah letak hikmahnya. Ngaret mengajarkan kesabaran, pengampunan, dan kreativitas improvisasi. Pernah nunggu seseorang satu jam dan akhirnya ngobrol sama penjual gorengan? Nah, itulah berkah ngaret. Kamu tidak mendapat apa yang kamu tunggu, tapi mendapat sesuatu yang tak pernah kamu rencanakan.
Sebagai penulis artikel ini, saya juga ngaret. Niat nulis dari pagi, baru kelar sekarang. Tapi begitulah hidup: yang penting selesai, bukan cepat. Ngaret bukan dosa. Ia cuma gaya hidup yang belum diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda.
Apakah Ngaret Harus Dilenyapkan? Tentu tidak. Tapi juga jangan dipelihara. Yang diperlukan adalah moderasi. Jangan terlalu ngaret, jangan terlalu kaku. Jadilah manusia yang tahu kapan harus melambat dan kapan harus telat, duh, tepat.
Karena pada akhirnya, waktu memang bukan milik siapa-siapa. Tapi cara kita memperlakukan waktu, menentukan bagaimana kita memperlakukan satu sama lain. Asiaap.