Mie Instan dan Makna Hidup: Renungan Eksistensial dari Kamar Kosan

Oleh: Redaksi |

Dokpri

Para filsuf Yunani Kuno sibuk bertanya: apa yang paling dasar dalam hidup ini? Thales bilang air, Heraclitus bilang api, dan Parmenides bilang “yang ada adalah ada.” Tapi kalau mereka hidup sebagai anak kosan hari ini, bisa jadi jawabannya beda: yang paling dasar adalah mie instan. Karena dari mie-lah kita belajar eksistensi yang konkret, cepat, murah, dan penuh bumbu penyedap.

Secara ontologis, mie instan adalah bentuk dari “menunda kehancuran.” Ia tahu dirinya bukan makanan sehat, tapi tetap eksis dan bahkan berjaya. Mie tidak mengklaim diri sebagai makanan terbaik, tapi selalu ada dalam rak kosan, seakan berkata: “aku tidak sempurna, tapi aku setia.”

Epistemologi Bumbu dan Ilusi Rasa

Bagaimana kita tahu mie itu enak? Karena bumbunya. Tapi apakah rasa yang enak itu nyata? Atau hanya ilusi buatan pabrik? Ini sudah masuk wilayah epistemologi, alias filsafat tentang pengetahuan.

Anak kos tahu: bumbu mie adalah kebohongan yang indah. MSG, garam, dan bubuk cabe menyatu bukan untuk memberi nutrisi, tapi untuk menghibur lidah yang tidak sempat masak rendang. Rasa kari ayam itu tidak berasal dari ayam manapun, tapi dari algoritma rasa.

Kita tidak makan mie karena lapar saja. Kita makan karena ingin merasa bahwa hidup ini masih bisa dinikmati walau seadanya. Mie adalah bentuk kebijaksanaan praktis: hidup memang gak gurih, jadi harus kita bumbui sendiri.

Etika Menyeduh—Tanggung Jawab dalam 3 Menit

Socrates pernah bilang, “Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang sia-sia.” Tapi anak kosan tahu: mie yang diseduh lebih dari 3 menit, itu mie yang sia-sia. Karena dalam filsafat mie instan, waktu adalah segalanya.

Etika mie mengajarkan kita soal tanggung jawab. Kalau kamu lupa matiin kompor, mie bisa terlalu lembek. Kalau kamu terlalu buru-buru, mie masih keras. Ini bukan cuma soal tekstur, tapi soal sikap hidup: apakah kamu bisa bersikap bijak di tengah waktu yang sempit?

Etika mie juga muncul saat ada dua anak kos, tapi mie hanya satu bungkus. Di situlah kita diuji: berbagi atau egois? Masak setengah bungkus buat masing-masing, atau pakai jurus “yang masak yang makan”?

Estetika Kuah dan Seni Mengakali Hidup

Kalau estetika bicara soal keindahan, maka mie instan adalah seni dalam keterbatasan. Ada anak kos yang menambahkan telur, sawi, bahkan sosis potong dua. Ada yang kreatif dengan kencur dan daun bawang hasil minta dari ibu kos. Itu semua bukan soal rasa, tapi upaya untuk membuat hidup terasa lebih berwarna.

Mie instan adalah kanvas. Kamu pelukisnya. Dan bumbunya? Palet warna rasa yang terbatas, tapi cukup untuk membuat kita merasa hidup. Di sinilah estetika mie muncul sebagai perlawanan terhadap kegetiran hidup.

Mie Instan sebagai Metafora Harapan

Pada akhirnya, mie instan adalah metafora eksistensial. Ia tidak menjanjikan kenyang abadi, tapi cukup untuk membuatmu bertahan satu malam lagi. Seperti hidup: tidak sempurna, tapi bisa diracik. Tidak panjang, tapi bisa kita nikmati.

Dalam dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan, mie instan bukan tanda kemiskinan, tapi simbol kebijaksanaan: jangan terlalu muluk-muluk, yang penting bisa lanjut hidup, dengan atau tanpa topping.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS