![]() |
Dokpri |
Secara ontologis, mie instan adalah bentuk dari “menunda kehancuran.” Ia tahu dirinya bukan makanan sehat, tapi tetap eksis dan bahkan berjaya. Mie tidak mengklaim diri sebagai makanan terbaik, tapi selalu ada dalam rak kosan, seakan berkata: “aku tidak sempurna, tapi aku setia.”
Anak kos tahu: bumbu mie adalah kebohongan yang indah. MSG, garam, dan bubuk cabe menyatu bukan untuk memberi nutrisi, tapi untuk menghibur lidah yang tidak sempat masak rendang. Rasa kari ayam itu tidak berasal dari ayam manapun, tapi dari algoritma rasa.
Kita tidak makan mie karena lapar saja. Kita makan karena ingin merasa bahwa hidup ini masih bisa dinikmati walau seadanya. Mie adalah bentuk kebijaksanaan praktis: hidup memang gak gurih, jadi harus kita bumbui sendiri.
Etika mie mengajarkan kita soal tanggung jawab. Kalau kamu lupa matiin kompor, mie bisa terlalu lembek. Kalau kamu terlalu buru-buru, mie masih keras. Ini bukan cuma soal tekstur, tapi soal sikap hidup: apakah kamu bisa bersikap bijak di tengah waktu yang sempit?
Etika mie juga muncul saat ada dua anak kos, tapi mie hanya satu bungkus. Di situlah kita diuji: berbagi atau egois? Masak setengah bungkus buat masing-masing, atau pakai jurus “yang masak yang makan”?
Mie instan adalah kanvas. Kamu pelukisnya. Dan bumbunya? Palet warna rasa yang terbatas, tapi cukup untuk membuat kita merasa hidup. Di sinilah estetika mie muncul sebagai perlawanan terhadap kegetiran hidup.
Dalam dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan, mie instan bukan tanda kemiskinan, tapi simbol kebijaksanaan: jangan terlalu muluk-muluk, yang penting bisa lanjut hidup, dengan atau tanpa topping.