![]() |
Poster Mayday (image by ngauris) |
Setiap tanggal 1 Mei, linimasa kita dipenuhi ucapan “Selamat Hari Buruh!” dari instansi, perusahaan, sampai akun-akun motivasi kerja. Semua berlomba-lomba menunjukkan empati, memberi ucapan manis, kadang disertai foto pekerja berhelm dan senyum tulus ala stok gambar. Tapi setelah itu? Hari-hari kembali normal. Kerja tetap padat, upah tetap pas-pasan, dan tenaga kerja tetap dianggap resource, bukan manusia.
Hari Buruh seharusnya bukan sekadar seremoni penuh spanduk dan ucapan template. Ia lahir dari sejarah panjang perjuangan kelas pekerja, orang-orang yang berani menuntut hak untuk hidup layak, melawan sistem yang memperlakukan mereka seperti baut dalam mesin raksasa bernama kapitalisme. Tapi hari ini, semangat itu mulai terkikis. Kita diajak untuk bangga jadi karyawan loyal, bukan kritis sebagai manusia merdeka.
Buruh hari ini tak lagi cuma mereka yang bekerja di pabrik atau proyek konstruksi. Buruh adalah kita yang kerja dari kafe tapi nggak punya asuransi. Kita yang kerja dari rumah tapi jam kerjanya tanpa batas. Kita yang dibayar per konten, per proyek, per detik, tapi disuruh selalu “siap mental”. Dan kita yang setiap pagi berkata, “Hari ini harus semangat!”, padahal dalam hati ingin resign sejak tiga tahun lalu.
Jadi, Hari Buruh bukan cuma soal mereka di jalanan yang bawa poster dan teriak tuntutan. Ia juga soal kita, yang menyimpan amarah dalam diam, yang lelah tapi terus bergerak, yang tahu dunia kerja ini sering nggak masuk akal tapi tetap bertahan karena hidup nggak bisa di-pause.
Maka mari kita mulai dengan kejujuran: bahwa sistem kerja hari ini bukan tempat yang adil bagi banyak orang. Dan kalau kita masih menyebut ini perayaan, biarlah ia jadi perayaan kesadaran, bahwa kita semua butuh kerja yang manusiawi, bukan sekadar kerja yang bisa membayar listrik dan cicilan.
Buruh Adalah Kita Semua
Kita sering mengira buruh itu hanya mereka yang bekerja dengan seragam dan peluh di pabrik. Tapi buruh hari ini jauh lebih beragam. Ada yang kerja pakai daster sambil nge-Zoom. Ada yang kerja dari cafe, tapi minum kopinya dicicil karena upahnya belum turun. Ada pula yang kerja kreatif, tapi dikira “kerja hobi”, padahal tiap minggu kejar deadline sambil nangis.
Kita semua buruh, dalam versi masing-masing. Yang membedakan hanya bentuk kerah dan cara berpakaian. Tapi selama kita menukar waktu hidup demi uang, kita ada dalam sistem yang sama: sistem yang harus terus dikritisi dan diubah.
Kerja Keras atau Kerja Terpaksa?
Dari kecil kita dijejali slogan: “Kerja keras adalah kunci sukses.” Tapi jarang ada yang bilang: kerja keras juga kunci insomnia, sakit punggung, dan hilangnya waktu main bareng anak. Banyak orang kerja sampai lupa hidup. Lembur dianggap wajar, bukan darurat. Istirahat dianggap malas, bukan hak. Dan yang paling ajaib: loyalitas dianggap lebih penting dari gaji.
Sistem kerja kita hari ini lebih sering menuntut daripada memanusiakan. Kalau bisa kerja cepat, kenapa harus lambat? Kalau bisa lembur, kenapa pulang tepat waktu? Kalau bisa bayar murah, ngapain kasih upah layak? Logika ini mungkin efisien buat perusahaan, tapi beracun buat kehidupan.
HRD Berkata: “Kami Peduli”, Tapi Gajinya Masih di Bawah UMK
Di Hari Buruh, banyak HRD mendadak humanis. Caption-caption manis bertebaran: “Terima kasih atas dedikasi para pekerja!” Tapi coba cek slip gajinya, penuh potongan, tunjangan minim, dan bonus tak kunjung datang.
Beberapa perusahaan malah lebih niat bikin konten ucapan Hari Buruh daripada memperbaiki kontrak kerja. Padahal buruh nggak butuh apresiasi dalam bentuk feed Instagram. Mereka butuh kejelasan status kerja, upah yang adil, dan perlindungan sosial yang nyata, bukan cuma “mari kita tumbuh bersama” tapi bayaran di bawah standar.
Kapitalisme: Rajin Merekayasa Rasa Syukur
Salah satu kalimat paling umum di dunia kerja adalah: “Harus banyak bersyukur.” Kalimat itu bisa menenangkan, tapi juga bisa jadi jebakan. ‘Syukur’ jadi selimut halus buat menutupi sistem kerja yang nggak adil. Gaji kecil? Syukuri, katanya. Jam kerja nggak masuk akal? Syukuri, yang penting masih kerja. Cuti susah diambil? Ya, sabar. Syukur.
Padahal, kritik bukan lawan dari syukur. Justru karena kita menghargai hidup, kita pantas meminta yang lebih baik. Hak kita bukan cuma hidup, tapi hidup yang layak. Dan Hari Buruh adalah saat yang tepat untuk bilang: “cukup sudah disuruh syukur sambil diperas terus.”
Merayakan Buruh, Memanusiakan Kerja
Hari Buruh bukan hari libur biasa. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap bangunan, aplikasi, layanan, dan barang yang kita pakai, ada keringat dan waktu orang lain. Dan selama masih ada yang harus lembur demi hidup layak, selama masih ada kontrak kerja yang nggak adil, selama masih ada pekerja yang takut menuntut hak, maka perjuangan belum selesai.
Selamat Hari Buruh. Semoga suatu hari nanti, kita bekerja bukan karena harus bertahan hidup, tapi karena ingin hidup lebih utuh. Dan semoga bos-bos mulai paham: apresiasi bukan ucapan, tapi gaji yang layak dan jam kerja manusiawi.
Hari Buruh seharusnya bukan sekadar seremoni penuh spanduk dan ucapan template. Ia lahir dari sejarah panjang perjuangan kelas pekerja, orang-orang yang berani menuntut hak untuk hidup layak, melawan sistem yang memperlakukan mereka seperti baut dalam mesin raksasa bernama kapitalisme. Tapi hari ini, semangat itu mulai terkikis. Kita diajak untuk bangga jadi karyawan loyal, bukan kritis sebagai manusia merdeka.
Buruh hari ini tak lagi cuma mereka yang bekerja di pabrik atau proyek konstruksi. Buruh adalah kita yang kerja dari kafe tapi nggak punya asuransi. Kita yang kerja dari rumah tapi jam kerjanya tanpa batas. Kita yang dibayar per konten, per proyek, per detik, tapi disuruh selalu “siap mental”. Dan kita yang setiap pagi berkata, “Hari ini harus semangat!”, padahal dalam hati ingin resign sejak tiga tahun lalu.
Jadi, Hari Buruh bukan cuma soal mereka di jalanan yang bawa poster dan teriak tuntutan. Ia juga soal kita, yang menyimpan amarah dalam diam, yang lelah tapi terus bergerak, yang tahu dunia kerja ini sering nggak masuk akal tapi tetap bertahan karena hidup nggak bisa di-pause.
Maka mari kita mulai dengan kejujuran: bahwa sistem kerja hari ini bukan tempat yang adil bagi banyak orang. Dan kalau kita masih menyebut ini perayaan, biarlah ia jadi perayaan kesadaran, bahwa kita semua butuh kerja yang manusiawi, bukan sekadar kerja yang bisa membayar listrik dan cicilan.
Buruh Adalah Kita Semua
Kita sering mengira buruh itu hanya mereka yang bekerja dengan seragam dan peluh di pabrik. Tapi buruh hari ini jauh lebih beragam. Ada yang kerja pakai daster sambil nge-Zoom. Ada yang kerja dari cafe, tapi minum kopinya dicicil karena upahnya belum turun. Ada pula yang kerja kreatif, tapi dikira “kerja hobi”, padahal tiap minggu kejar deadline sambil nangis.
Kita semua buruh, dalam versi masing-masing. Yang membedakan hanya bentuk kerah dan cara berpakaian. Tapi selama kita menukar waktu hidup demi uang, kita ada dalam sistem yang sama: sistem yang harus terus dikritisi dan diubah.
Kerja Keras atau Kerja Terpaksa?
Dari kecil kita dijejali slogan: “Kerja keras adalah kunci sukses.” Tapi jarang ada yang bilang: kerja keras juga kunci insomnia, sakit punggung, dan hilangnya waktu main bareng anak. Banyak orang kerja sampai lupa hidup. Lembur dianggap wajar, bukan darurat. Istirahat dianggap malas, bukan hak. Dan yang paling ajaib: loyalitas dianggap lebih penting dari gaji.
Sistem kerja kita hari ini lebih sering menuntut daripada memanusiakan. Kalau bisa kerja cepat, kenapa harus lambat? Kalau bisa lembur, kenapa pulang tepat waktu? Kalau bisa bayar murah, ngapain kasih upah layak? Logika ini mungkin efisien buat perusahaan, tapi beracun buat kehidupan.
HRD Berkata: “Kami Peduli”, Tapi Gajinya Masih di Bawah UMK
Di Hari Buruh, banyak HRD mendadak humanis. Caption-caption manis bertebaran: “Terima kasih atas dedikasi para pekerja!” Tapi coba cek slip gajinya, penuh potongan, tunjangan minim, dan bonus tak kunjung datang.
Beberapa perusahaan malah lebih niat bikin konten ucapan Hari Buruh daripada memperbaiki kontrak kerja. Padahal buruh nggak butuh apresiasi dalam bentuk feed Instagram. Mereka butuh kejelasan status kerja, upah yang adil, dan perlindungan sosial yang nyata, bukan cuma “mari kita tumbuh bersama” tapi bayaran di bawah standar.
Kapitalisme: Rajin Merekayasa Rasa Syukur
Salah satu kalimat paling umum di dunia kerja adalah: “Harus banyak bersyukur.” Kalimat itu bisa menenangkan, tapi juga bisa jadi jebakan. ‘Syukur’ jadi selimut halus buat menutupi sistem kerja yang nggak adil. Gaji kecil? Syukuri, katanya. Jam kerja nggak masuk akal? Syukuri, yang penting masih kerja. Cuti susah diambil? Ya, sabar. Syukur.
Padahal, kritik bukan lawan dari syukur. Justru karena kita menghargai hidup, kita pantas meminta yang lebih baik. Hak kita bukan cuma hidup, tapi hidup yang layak. Dan Hari Buruh adalah saat yang tepat untuk bilang: “cukup sudah disuruh syukur sambil diperas terus.”
Merayakan Buruh, Memanusiakan Kerja
Hari Buruh bukan hari libur biasa. Ia adalah pengingat bahwa di balik setiap bangunan, aplikasi, layanan, dan barang yang kita pakai, ada keringat dan waktu orang lain. Dan selama masih ada yang harus lembur demi hidup layak, selama masih ada kontrak kerja yang nggak adil, selama masih ada pekerja yang takut menuntut hak, maka perjuangan belum selesai.
Selamat Hari Buruh. Semoga suatu hari nanti, kita bekerja bukan karena harus bertahan hidup, tapi karena ingin hidup lebih utuh. Dan semoga bos-bos mulai paham: apresiasi bukan ucapan, tapi gaji yang layak dan jam kerja manusiawi.