Lucifer: Pemberontakan Pertama dan Dosa Berpikir

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi AI

Mari kita mulai dari pertanyaan paling filosofis yang bisa diajukan umat manusia (selain “Kenapa gorengan selalu habis duluan?”): Apa salah Lucifer sampai diusir dari surga? Jawaban resminya: karena memberontak. Tapi mari kita lihat ini dari sisi lain, dari sisi meja yang dibanting oleh malaikat yang sudah terlalu lama memendam keresahan eksistensial.

Lucifer, atau yang dikenal juga sebagai Iblis, Setan, atau Si Bos Marketing Neraka, dulunya adalah malaikat paling glowing di surga. Dia bukan cuma cakep secara spiritual, tapi juga punya portofolio yang cemerlang.

Tapi kemudian, muncul konflik: Tuhan menciptakan manusia. Dan Tuhan bilang, “Hai malaikat, sujudlah kepada manusia.” Lucifer langsung mengeluarkan kalkulator moral: “Lah, kenapa kita yang udah lama kerja, disuruh sujud ke makhluk yang baru aja diluncurin versi betanya?”

Inilah titik krusial dalam sejarah spiritual umat manusia. Lucifer bukan marah karena sombong, tapi karena dia terlalu eksistensialis. Dia mungkin baru selesai baca Kierkegaard atau Nietzsche edisi surga. “Aku pikir, maka aku memberontak,” katanya sambil membanting meja.

Bayangkan, kamu kerja di perusahaan startup bernama Heaven Inc., kamu pegawai terbaik selama miliaran tahun, lalu bos kamu tiba-tiba bawa karyawan magang dari tanah liat dan bilang, “Kalian semua harus tunduk.”

Lucifer: “Wah, gila. Ini nepotisme level kosmis.”

Babak Baru: Lucifer di Dunia Kerja Neraka

Setelah dikeluarkan dari surga dengan catatan buruk, Lucifer tidak langsung nganggur. Dia buka usaha sendiri. Brandingnya agak edgy: “Neraka ,  tempat kamu bebas mikir, bebas milih, tapi juga bebas kebakar.”

Lucifer bukan jahat. Dia cuma terlalu percaya sama konsep kehendak bebas. Kalau surga itu semacam negara totalitarian spiritual (“Ikuti aturan dan kau akan bahagia!”), maka neraka adalah demokrasi absurd (“Lakukan sesukamu, tapi jangan salahkan siapa-siapa kalau hidupmu kacau!”)

Ironisnya, banyak manusia malah nyari Lucifer. Bukan karena suka dosa, tapi karena capek sama sistem meritokrasi surgawi yang terlalu berat sebelah. Di surga, bahkan baru niat jahat saja sudah dicatat. Di neraka, kamu boleh salah, asal tanggung jawab.

Lucifer tidak menjanjikan keselamatan. Tapi dia menawarkan kejujuran. “Di sini, kamu nggak akan dihakimi. Tapi kamu juga gak akan diselamatkan. Enak, kan?”

Lucifer: The First Rebel atau The First Existential Hero?

Coba pikir, apa bedanya Lucifer dengan tokoh-tokoh revolusioner dunia? Dia melawan sistem yang dia anggap tidak adil. Dia mempertanyakan tatanan yang sudah ada. Dia berkata ‘tidak’ ketika semua makhluk lain berkata ‘ya’.

Lucifer itu seperti tokoh utama di novel Dostoyevsky penuh konflik batin, banyak monolog, dan senang membuat kekacauan demi sebuah kebenaran yang absurd. Dia adalah simbol dari perlawanan terhadap keharusan moral yang kaku. Tapi dia juga, sayangnya, terlalu yakin bahwa melawan itu selalu benar.

Kita tidak harus mencintai Lucifer, tapi kita bisa belajar darinya bahwa berpikir itu berisiko, dan mempertanyakan kekuasaan bisa membuatmu jatuh, tapi mungkin itu satu-satunya cara untuk benar-benar hidup.

Apakah Lucifer Salah? Atau Cuma Terlalu Manusia?

Lucifer bukan sekadar makhluk bersayap dan bertanduk. Dia adalah simbol kompleks dari pencarian makna yang terlalu jauh hingga terbakar oleh matahari kebenaran. Kalau dia salah, maka dia salah karena terlalu cinta pada kehendak bebas. Dan kalau dia benar, ya Tuhan pasti tahu, kan?

Jadi, lain kali kalau kamu merasa hidup ini tidak adil, ingatlah, kamu tidak sendirian. Di suatu tempat yang panas dan penuh Wi-Fi untuk dosa, ada makhluk yang juga pernah mengatakan, “Ini tidak adil,” dan dibuang karena terlalu jujur.

Lucifer bukan pahlawan. Tapi dia juga bukan penjahat. Dia hanya malaikat yang berani bilang ‘tidak’, di dunia yang penuh kewajiban untuk selalu bilang ‘amin’.

Catatan dari Mimin

Tulisan ini sudah pernah nampang di Medium dan Substack.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS