![]() |
Ilustrasi: Nietzsche |
Bayangkan suatu pagi yang tenang. Kamu duduk di depan cermin, rambut acak-acakan, pikiran berkabut, dan kopi belum diseduh. Dalam keheningan itu, muncul sebuah suara dari dalam batin: “Untuk apa semua ini?”
Sebelum kamu mengira sedang kerasukan, tenang, kamu mungkin cuma sedang (tanpa sadar) bertemu Friedrich Nietzsche.
Ya, Nietzsche. Filsuf yang dikenal suka mengganggu kenyamanan orang-orang yang terlalu yakin, dan keyakinan orang-orang yang terlalu nyaman. Kedatangannya membuat gelisah. Salah satu kalimatnya yang paling terkenal, dan paling sering disalahpahami adalah: “Tuhan telah mati.”
Mungkin ada yang mengira kalimat ini seperti kabar di koran duka cita teologis. Tenang, Nietzsche bukan lagi bikin pengumuman mistis. Dia nggak melihat Tuhan tergeletak di jalan tol. Bagi Nietzsche sendiri, hal itu juga bukan perayaan ateisme, melainkan sinyal bahaya. Dan ya, ini bukan cuma soal agama. Ini soal makna dan arah kehidupan yang makin absurd.
Tuhan Telah Mati, Tapi Kamu Masih Hidup dan Tagihan Listrik Tetap Harus Dibayar
Nietzsche tidak sedang bermain-main waktu dia bilang “Tuhan telah mati.” Ia sedang menyampaikan bahwa fondasi moral dan makna dalam kehidupan yang selama ribuan tahun disandarkan pada agama, telah runtuh. Ilmu pengetahuan, rasionalitas, dan modernitas telah menggantikan tempat Tuhan, tapi sayangnya, belum ada yang menggantikan fungsi Tuhan.
Kita hidup di dunia yang katanya bebas, tapi kita tidak tahu harus ngapain dengan kebebasan itu. Kita seperti orang yang baru putus hubungan, merasa lega, tapi juga kosong. Bebas, tapi bingung. Dan dalam kebingungan itu, Nietzsche menyaksikan manusia modern seperti zombie, berjalan tanpa arah, dan kehilangan makna.
“Jika kamu menatap ke dalam kekosongan terlalu lama, kekosongan juga menatap balik ke kamu”. (Dan mungkin, bakal follow IG-mu)
Nihilisme, Tagihan listrik dan Dompet di Tanggal Tua
Menurut Nietzsche, (semoga aku nggak salah) Nihilisme bukan cuma rasa tidak percaya terhadap Tuhan. Nihilisme adalah keadaan ketika semua nilai runtuh, dan tidak ada yang bisa dipercaya. Semua tampak sia-sia.
Inilah zaman ketika nilai lama tidak lagi berlaku, dan nilai baru belum ditemukan. Nietzsche menyebut ini sebagai krisis peradaban. Kita hidup seperti aktor yang kehilangan naskah, tapi tetap harus naik panggung.
Jadi, meskipun Tuhan mati dalam pandangan metaforis Nietzsche, hidup tetap harus berjalan. Tagihan Listrik bulanan ataupun bunyi tit tit tit notif token listrik hampir sekarat tetap datang. Tetap jatuh cinta, tetap galau, tetap mikir, dan kadang-kadang, tetap upload quotes Nietzsche di Instagram biar keliatan deep (padahal nggak ngerti).
Jadilah Manusia Unggul (nggak harus bisa terbang)
Dari reruntuhan nilai lama itu, Nietzsche tidak menyuruh kita menyerah. Justru, ia mendorong kita menciptakan nilai baru. Ia memperkenalkan konsep Übermensch atau Manusia Unggul.
Bukan berarti jadi superhero atau influencer. Manusia unggul menurut Nietzsche adalah mereka yang berani hidup tanpa jaminan makna, tapi tetap memilih menciptakan makna sendiri.
Mereka yang bisa tertawa di tengah absurditas hidup. Mereka yang tahu hidup ini tak masuk akal, tapi tetap bangun pagi dan gosok gigi.
Übermensch adalah antitesis dari manusia membeo. Ia tidak mencari kebenaran di luar dirinya, tapi mengukirnya dari luka dan kegelisahan. Ia bukan orang suci, tapi orang nekat, dengan gaya.
Nietzsche tidak ingin kita menyesali masa lalu atau menanti surga. Ia ingin kita hidup sekarang, dengan sepenuh tenaga, seolah tiap detik adalah satu-satunya yang kamu punya.
Penutup: Meski Tuhan Sudah Mati, Tapi Kamu Harus Mandi
Nietzsche tidak membenci Tuhan. Ia hanya kecewa dengan manusia yang menyerahkan hidupnya ke sistem nilai yang sudah kosong. Ia ingin kita dewasa, meski pelan-pelan. Ia mengajak kita menyelami kegelisahan, bukan malah scroll tiktok cari konten motivasi atau fake positivity.
Kalau hidup ini absurd, ya sudah, bikinlah absurditas itu jadi panggungmu sendiri. Dan ketika kamu merasa dunia ini terlalu gila, ingatlah, kamu tidak sendiri. Nietzsche sudah lebih dulu melihat kegilaan itu, dan menertawakannya, meski dalam hati.