Karl Marx dan Kutukan Gaji Habis Sebelum Tanggal Tua

Oleh: Redaksi |


Karl Marx
Karl Marx itu kayak mantan yang nggak bisa kamu lupakan: kamu boleh nggak suka, tapi dia pernah (dan masih) membentuk cara kamu melihat dunia. Dulu dia dikutuk gereja, dibenci negara, sekarang malah bukunya dijual diskon di toko online. Ironi yang cukup Marxist, kalau dipikir-pikir.

Tapi siapa sih Karl Marx ini? Dan kenapa banyak orang zaman sekarang, entah di ruang kelas, di Twitter, atau di jalanan, masih suka ngutip-ngutip omongannya?

Marx dan Dunia yang Penuh Ketimpangan

Karl Marx lahir di Jerman tahun 1818, hidupnya lebih sering ngungsi ketimbang liburan. Dia belajar filsafat, tapi lebih tertarik ngomongin roti dan kerja daripada malaikat dan metafisika. Bersama sahabatnya, Friedrich Engels, dia nulis Manifesto Komunis (1848) dan Das Kapital (1867), dua buku yang bikin banyak bos besar pusing kepala sampai hari ini.

Marx melihat dunia ini sebagai arena pertarungan kelas. Dalam setiap zaman, katanya, selalu ada dua pihak utama:

  • Yang punya alat produksi (sekarang kita sebut konglomerat),
  • Dan yang cuma punya tenaga kerja (alias kita semua yang hidup dari gaji).

Dari sinilah lahir konsep andalannya: perjuangan kelas. Menurut Marx, sejarah itu bukan soal penemuan listrik atau naiknya kerajaan, tapi soal siapa menindas siapa.

Alienasi: Hidup yang Asing di Dunia Sendiri

Dalam kapitalisme, kata Marx, kerja bukan lagi tempat kita mengekspresikan diri, tapi cuma cara buat bertahan hidup. Kita kerja bukan buat senang, tapi buat bayar listrik dan cicilan. Kita jadi asing dari:

  • Barang yang kita buat (karena bukan milik kita),
  • Proses kerja itu sendiri (karena kayak robot),
  • Sesama pekerja (karena jadi saingan),
  • Dan diri kita sendiri (karena hidup jadi kayak skrip yang ditulis orang lain).

Inilah yang Marx sebut alienasi—ketika kamu jadi manusia, tapi tidak merasa hidup sebagai manusia.

Materialisme Historis: Dunia Diatur oleh Perut, Bukan Pikiran

Kalau Hegel bilang dunia bergerak karena ide-ide besar, Marx bilang: nggak juga. Dunia ini digerakkan oleh kebutuhan material—makan, minum, kerja, punya rumah. Struktur ekonomi menentukan struktur sosial dan ideologi. Jadi kalau kamu diajarin sejak kecil bahwa “rajin pangkal kaya”, bisa jadi itu cuma doktrin buat bikin kamu nggak protes meski digaji UMR sambil kerja lembur.

Kapitalisme: Mesin Canggih yang Ngegas Terlalu Kencang

Marx bukan cuma mengkritik kapitalisme, dia juga memujinya. Katanya, kapitalisme adalah sistem paling produktif dalam sejarah. Tapi justru karena terlalu produktif, sistem ini juga bikin krisis:

  • Produksi melimpah, tapi konsumsi rendah (karena buruh nggak mampu beli barang yang mereka buat).
  • Inovasi pesat, tapi buruh makin nggak aman (halo, PHK massal dan AI!).
  • Pertumbuhan ekonomi naik, tapi kualitas hidup stagnan atau menurun.

Dan karena sistem ini butuh terus tumbuh, dia akan terus cari pasar baru, buruh lebih murah, dan sumber daya yang bisa dieksploitasi. Planet? Habisin aja dulu, nanti mikir belakangan.

Revolusi dan Mimpi tentang Dunia Tanpa Kelas

Bagi Marx, solusi dari semua ini adalah revolusi. Tapi jangan dibayangkan kayak film aksi. Revolusi di sini artinya perubahan radikal dalam cara kita hidup, bekerja, dan berbagi hasil kerja. Dalam masyarakat komunis idealnya:

  • Nggak ada lagi pemilik tunggal alat produksi.
  • Kerja dilakukan bersama dan hasilnya dibagi adil.
  • Negara, uang, bahkan kelas sosial pelan-pelan menghilang.

Visinya utopis? Jelas. Tapi bukankah kita juga hidup dalam utopia kapitalis yang menjanjikan bahwa semua bisa sukses kalau kerja keras, meskipun nyatanya cuma sebagian kecil yang bisa beli rumah sebelum umur 40?

Marx Hari Ini: Meme, Tesis, dan Toko Online

Menariknya, Marx sekarang hidup dalam bentuk yang ironis:

  • Dikutip di meme-meme lucu Twitter dan TikTok.
  • Dijadikan bahan skripsi dan tesis di kampus elite.
  • Bukunya dijual dalam sistem pasar yang ia kritik habis-habisan.

Tapi begitulah kekuatan Marx: ide-idenya bisa masuk ke ruang akademik maupun tongkrongan warung kopi. Ia tetap relevan karena pertanyaannya masih relevan:

Kenapa kita kerja terus tapi tetap nggak sejahtera?

Penutup: Waktunya Ngobrol Serius dengan Marx

Membaca Marx bukan berarti kamu harus jadi komunis atau anti-kerja. Tapi ini soal punya kerangka berpikir kritis tentang dunia yang kadang terasa absurd. Marx mengajak kita melihat bahwa sistem tempat kita hidup ini bukanlah sesuatu yang netral atau alamiah, tapi hasil dari relasi kuasa dan ekonomi yang bisa, dan perlu, dikritisi.

Mungkin kamu nggak sepakat sama semua ide Marx. Tapi kalau kamu pernah merasa hidup ini kayak lomba lari di treadmill, mungkin sudah saatnya kamu ngopi bareng Karl Marx, setidaknya lewat bukunya.

Ngaku-ngaku anak kritis tapi belum baca Marx? Ayo, buruan baca sebelum kamu keburu dibaca sistem.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS