![]() |
Ilustrator: Tim Ngauris |
Ngauris.com— Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh Lembaga Riset Emosi Digital (LRED) menemukan bahwa pola tertawa di grup WhatsApp berpotensi menjadi pemicu utama konflik sosial di era komunikasi digital.
Penelitian yang dilakukan selama 12 bulan tersebut mengkaji lebih dari 1.000 grup percakapan daring, mulai dari grup keluarga, komunitas alumni, hingga grup jual beli. Hasilnya menunjukkan bahwa berbagai bentuk ekspresi tawa digital seperti “wkwkwk”, “hehe”, hingga “HAHAHA” seringkali menimbulkan kesalahpahaman, kecanggungan, bahkan perpecahan hubungan antar anggota grup.
“Tertawa seharusnya mempererat, namun dalam konteks digital, ekspresi tawa justru bisa membingungkan,” ujar Prof. Dr. Ir. LMAO, M.Tertawa, peneliti utama dari LRED.
“Jenis tawa yang digunakan mencerminkan identitas sosial, niat emosional, bahkan bisa disalahartikan sebagai bentuk sindiran.” Imbuhnya.
Hasil hasil riset tersebut, LRED membagi ekspresi tawa digital ke dalam beberapa kategori, antara lain:
• “wkwkwk”: Dinilai terlalu santai, sering dianggap meremehkan.
• “hahaha”: Netral namun terkesan datar dan dingin.
• “xixixi”: Membingungkan, sering diidentifikasi sebagai suara mahluk gaib.
• “HAHAHA”: Kapital dan penuh emosi, bisa dianggap sarkasme.
• “hehe”: Mengandung ketidakpastian dan keraguan.
• Emoji tertawa: Dinilai paling aman, namun jika berlebihan bisa memicu prasangka.
Laporan LRED menyebutkan bahwa 64% konflik dalam grup digital bermula dari kesalahpahaman terhadap gaya tertawa. Salah satu studi kasus mengungkapkan bahwa seorang anggota grup alumni SMA keluar dari grup setelah membagikan kabar anaknya juara kelas dan mendapat respons “wkwkwk mantap”. Respons tersebut ditafsirkan sebagai ejekan, bukan pujian.
Menanggapi temuan tersebut, Kementerian Komunikasi, Emosi, dan Ghibah (KKEG) sedang menyusun draft Pedoman Tertawa Nasional (PTN) untuk mengatur penggunaan ekspresi tawa dalam percakapan daring.
Hasil hasil riset tersebut, LRED membagi ekspresi tawa digital ke dalam beberapa kategori, antara lain:
Laporan LRED menyebutkan bahwa 64% konflik dalam grup digital bermula dari kesalahpahaman terhadap gaya tertawa. Salah satu studi kasus mengungkapkan bahwa seorang anggota grup alumni SMA keluar dari grup setelah membagikan kabar anaknya juara kelas dan mendapat respons “wkwkwk mantap”. Respons tersebut ditafsirkan sebagai ejekan, bukan pujian.
Menanggapi temuan tersebut, Kementerian Komunikasi, Emosi, dan Ghibah (KKEG) sedang menyusun draft Pedoman Tertawa Nasional (PTN) untuk mengatur penggunaan ekspresi tawa dalam percakapan daring.
“Kami ingin mendorong masyarakat untuk tertawa dengan kesadaran sosial, Jangan sampai tawa menjadi penyebab luka.” ujar Menteri KKEG, Luluh Wibawa.
LRED menyarankan masyarakat untuk menggunakan tawa digital dengan konteks yang jelas, menghindari tawa ambigu seperti “hehe” di tengah konflik, serta mengembangkan empati digital saat berinteraksi.
Penelitian ini diharapkan dapat membuka diskusi lebih luas mengenai etika komunikasi dalam ruang digital, sekaligus mendorong lahirnya kurikulum literasi tawa bagi generasi milenial dan Gen Z.
Reporter: Reda Ketawa | Editor: Ngauris