Dark Age: Cahaya yang Bersembunyi di Balik Sejarah

Oleh: Redaksi |

Foto: Ilustrasi

Di antara lembaran panjang sejarah manusia, terdapat babak yang sering diberi judul dramatis: Masa Kegelapan. Seolah-olah peradaban yang semula gemilang tiba-tiba kehilangan cahayanya, lalu terperosok dalam kabut kealpaan yang panjang. Tetapi, benarkah demikian adanya? Ataukah sebutan itu hanyalah luapan keputusasaan dari para pencatat sejarah yang terlalu mencintai masa lalu?

Apa dan Kapan Masa Kegelapan Itu?

Secara konvensional, Masa Kegelapan merujuk pada periode pasca kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat pada abad ke-5 Masehi hingga kira-kira abad ke-10 Masehi di wilayah Eropa Barat. Pada masa ini, struktur politik yang megah runtuh, perdagangan merosot, dan, menurut kesan umum, akal budi manusia seolah turut tenggelam dalam kehampaan.

Namun, perlu diakui, batasan waktu tersebut lebih menyerupai pagar kebun yang dipasang tergesa-gesa: ia lebih berguna untuk menjaga persepsi daripada menggambarkan kenyataan yang beragam.

Mengapa “Gelap”? Bukankah Matahari Tetap Terbit?

Istilah gelap di sini tentu tidak bermaksud bahwa matahari absen selama lima abad. Yang dimaksud adalah kegelapan budaya, politik, dan intelektual menurut standar tertentu. Beberapa alasan mengapa zaman ini dianggap kelam antara lain:

  • Kemunduran infrastruktur: Jalan raya Romawi yang dahulu megah berubah menjadi lintasan kerbau.
  • Penurunan literasi: Membaca buku menjadi keahlian langka, sementara menebang hutan menjadi keahlian umum.
  • Kekacauan politik: Tiada lagi satu kekuatan besar yang mengayomi; sebagai gantinya, muncul ratusan kerajaan kecil yang lebih suka berperang daripada berunding.

Akan tetapi, melihatnya sebagai kegelapan total sebetulnya lebih mencerminkan frustrasi para sejarawan Renaisans yang membandingkan masa mereka sendiri dengan masa lampau, ketimbang realitas yang lebih berwarna dan beragam.

Kilatan Cahaya di Tengah Kelam

Tidak semua sisi masa ini patut dipukul rata sebagai suram. Di balik reruntuhan kekaisaran, muncullah komunitas-komunitas kecil yang bertahan, belajar, dan bahkan mencipta. Misalnya:

  • Biara-biara menjadi pusat penyelamatan ilmu pengetahuan. Para rahib yang seolah-olah hidup dalam “hibernasi budaya” sebenarnya tengah menyalin naskah-naskah penting untuk diwariskan kepada generasi mendatang.
  • Munculnya bangsa-bangsa baru. Dari abu Kekaisaran Romawi, terbentuklah identitas nasional awal di berbagai belahan Eropa.
  • Inovasi teknis sederhana: Pengembangan bajak berat, kincir air, dan sistem rotasi tanaman perlahan mulai mengubah pola hidup masyarakat.

Dengan demikian, Masa Kegelapan bukanlah ketiadaan mutlak, melainkan lebih mirip seperti malam panjang yang di dalamnya sesekali muncul kilatan bintang.

Apakah Hanya Eropa yang Mengalami Masa Kegelapan?

Fokus pada Eropa sering membuat kita lupa bahwa dunia lain berjalan dengan ritmenya masing-masing. Ketika Eropa bergulat dengan fragmentasi politik, Kekhalifahan Islam justru mengalami Zaman Keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan, kedokteran, dan filsafat. Di belahan bumi lain, seperti Tiongkok dan India, kehidupan intelektual pun tetap bergelora.

Maka, penyematan istilah Masa Kegelapan sebenarnya lebih merupakan catatan kaki yang bersifat lokal ketimbang narasi universal umat manusia.

Refleksi: Gelap, Terang, dan Sisi Abu-abu

Sejarah tidak pernah sepenuhnya gelap ataupun sepenuhnya terang; ia adalah rangkaian peristiwa yang berkelindan dalam nuansa abu-abu. Mungkin masa itu tampak kelam bagi mereka yang kehilangan warisan Romawi, tetapi bagi petani yang akhirnya memiliki sebidang tanah sendiri setelah runtuhnya tatanan lama, masa itu bisa jadi adalah awal kebebasan.

Menyebut satu masa sebagai “gelap” kadang lebih mencerminkan keterbatasan pemahaman kita, ketimbang kesalahan masa itu sendiri. Lagi pula, bahkan malam yang paling kelam tetap menjadi bagian sah dari satu siklus kehidupan yang utuh.

Sebab, sebagaimana kata pepatah lama Tanpa malam, kita tidak akan pernah melihat bintang.”

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS