![]() |
Ilustrasi AI |
Jean-Paul Sartre adalah filsuf eksistensialis yang serius banget soal keberadaan, kebebasan, dan tanggung jawab pribadi. Dia percaya bahwa manusia ditakdirkan untuk bebas, dan karenanya harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.
Tapi, coba bayangin Sartre nongol di TikTok (platform yang dipenuhi scroll tak berujung, sound viral, dan “kebebasan” yang seringkali diikuti kebingungan eksistensial), bukan karena dia cari hiburan, tapi karena, katakanlah dia reinkarnasi jadi anak Gen Z yang baru patah hati. Ia mencoba mencari makna hidup, lalu mendapati konten motivasi 15 detik bertuliskan:
“Kamu cukup, kamu berharga, kamu glowing walau mental breakdown.”
Di sisi lain, Kierkegaard, bapak eksistensialisme yang penuh luka batin dan sangat mendalam dalam hal iman, kecemasan, dan melompat ke dalam absurditas. Kalau dia hidup hari ini, dia mungkin akan frustrasi melihat kolom komentar netizen.
Bayangkan ia sedang sedang menulis puisi tentang kecemasan dan iman, tapi tiba-tiba distraksi datang dari kolom komentar yang penuh debat antara fans K-Pop, netizen religius, dan penjual skincare. Salah satu komentar berbunyi: “Lo tuh insecure, bukan introvert.” Seketika, eksistensinya goyah. Lalu ia bikin postingan jedag-jedug dengan caption:
“Kecemasan adalah pusing yang kudapat setelah baca debat pro-kontra skincare haram.”
Filsuf-filsuf eksistensialis seperti Sartre dan Kierkegaard berbicara tentang penderitaan eksistensial, pilihan bebas, iman yang melompat ke dalam absurditas, dan kesepian sebagai inti manusia. Tapi dunia hari ini lebih sering menyarankan: “Jangan overthinking, kamu cuma butuh healing. Ironis.
Zaman di mana kita paling bebas justru membuat kita paling bingung harus ngapain. Kita bebas memilih apapun, tapi juga dibanjiri pilihan sampai lelah berpikir. Kita haus makna, tapi juga takut diam karena FOMO.
Sartre menyebut manusia sebagai “makhluk yang dikutuk untuk bebas.” Di TikTok, kutukan itu menjelma jadi: “Scroll terus, sampai kamu lupa kamu lagi galau eksistensial.”
Kierkegaard menulis tentang iman sebagai lompatan ke dalam kegelapan, percaya tanpa kepastian, mencintai tanpa jaminan. Tapi hari ini, iman diuji bukan oleh dewa-dewa, melainkan oleh netizen yang bilang: “Itu bid’ah, bro.” , “Kamu terlalu serius, enjoy aja.”
Kolom komentar jadi ruang kontemplasi sekaligus ruang konflik. Kita semua ingin didengar, tapi tak ada yang benar-benar mendengar. Di sana, Kierkegaard bisa melihat dunia yang absurd: tempat keheningan spiritual digantikan notifikasi.
Kita Semua Adalah Filsuf yang Kecanduan Ponsel
Sartre di TikTok bukan sekadar lelucon. Ia metafora tentang bagaimana manusia modern berusaha mencari makna dalam banjir distraksi. Sartre di TikTok itu seperti menaruh filsuf serius dalam dunia yang nggak serius. Ini merupakan sindiran atas konflik antara kedalaman berpikir dan permukaan hiburan. TikTok menjadi metafora dari dunia sekarang: cepat, visual, instan, tempat di mana pemikiran Sartrean soal “keberadaan mendahului esensi” mungkin cuma jadi bahan editan aesthetic 15 detik.
Kierkegaard di kolom komentar adalah gambaran kesendirian spiritual di tengah keramaian digital, tentang upaya mencari makna mendalam di tempat yang salah, atau justru, menemukan makna eksistensial di tempat yang paling absurd: kolom komentar netizen +62.
Kita sedang menjalani hidup eksistensialis, tapi kita menyembunyikannya di balik filter aesthetic dan caption motivasi.
“Aku berpikir, maka aku kehabisan kuota.”
Penutup: Swipe ke Dalam Diri
Mungkin ada baiknya kita berhenti sesaat. Bukan berhenti scrolling, tapi mulai merenung:
Apakah aku sungguh hidup? Atau hanya jadi bagian dari algoritma yang sedang berputar?
Karena meski Sartre mungkin nggak akan viral, dan Kierkegaard nggak akan punya banyak followers, setidaknya mereka mengingatkan kita bahwa eksistensi itu harus dihidupi, bukan sekadar dibagikan.
Jadi, kalau hari ini kamu merasa kosong, jangan langsung cari konten lucu. Mungkin yang kamu butuhkan bukan healing trip, tapi ngobrol dengan diri sendiri.
*Tulisan ini sebelumnya tayang di Medium.