![]() |
https://images.app.goo.gl/HfH1KLvY1iiENKQAA |
Mari kita mulai dari yang sederhana. Kebenaran dan kesalahan, dalam kehidupan sehari-hari, diperlakukan seperti dua kutub yang berseberangan. Seperti gula dan garam: sama-sama putih, tapi dampaknya beda. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, apakah benar bahwa ‘benar’ itu berarti ‘tidak salah’? Dan apakah ‘salah’ itu berarti ‘tidak benar’? Di sinilah semuanya jadi runyam, namun menyenangkan, kalau Anda penggemar kebingungan eksistensial.
Masalahnya bukan pada ‘benar’ dan ‘salah’, tapi pada kata ‘tidak’. Kata mungil ini, mampu mengacaukan tatanan logika, menghancurkan hubungan, dan mungkin bisa membuat mahasiswa filsafat galau selama tiga semester.
Kata ‘tidak’ punya banyak wajah. Kadang dia menolak secara tegas, kadang malu-malu. Kadang ‘tidak salah’ berarti ‘benar’, tapi di lain waktu, ‘tidak salah’ hanya berarti ‘ya… agak benar dikit, tapi jangan terlalu diharapkan’. Contoh paling umum: “Saya tidak bilang kamu jelek.” Ini bukan berarti lawan bicaranya cantik. Ini hanya berarti, “Saya sedang berusaha tidak jujur secara frontal.”
Dari sinilah kita mulai melihat bahwa kebenaran dan kesalahan bukan anak kembar identik. Mereka lebih seperti sepupu jauh yang kadang mirip, tapi punya sifat sangat berbeda. Kebenaran cenderung angkuh dan serius. Ia suka debat, suka klarifikasi, dan kadang sok tahu. Kesalahan, di sisi lain, lebih santai. Ia sering hadir tanpa diundang, kadang membawa tawa, kadang membawa bencana. Namun ia jujur.
Tapi tunggu dulu, kita belum membahas kemungkinan bahwa sesuatu bisa tidak benar dan tidak salah. Ini adalah wilayah yang dihuni oleh politikus, dosen filsafat, dan mantan. Di sini, logika jungkir balik menjadi norma. Sebuah pernyataan bisa “tidak benar” karena belum terbukti, tapi juga “tidak salah” karena belum bisa disangkal. Inilah wilayah abu-abu yang oleh sebagian orang disebut “diplomasi”, oleh sebagian lain disebut “ngeles”, dan oleh Plato mungkin akan di respon: “sudah lah, kembali ke dunia ide saja.”
Kesimpulannya? Tidak ada. Karena setiap kesimpulan akan dibantah oleh seseorang yang mengatakan: “Tidak juga sih…” Dan sekali lagi, kita kembali ke kata itu: tidak. Sebuah partikel mungil yang telah menyesatkan logika, menggoda ironi, dan menghidupkan filsafat.
Jadi, apakah esai ini benar? Tidak salah. Apakah salah? Tidak benar juga. Dan dengan logika itu, penulis bisa dengan aman mengakhiri tulisan ini tanpa konsekuensi serius. Atau… mungkin justru karena itu konsekuensinya serius? Entahlah.
*Tulisan ini sebelumnya tayang di Medium.