![]() |
Ilustrasi AI: Sartre bingung milih lauk |
Prolog: Kebebasan yang Melelahkan di Depan Etalase Warteg
Bayangkan kamu masuk ke sebuah warteg di siang hari yang panas, perut keroncongan, dan kepala penuh tekanan hidup. Di depanmu berdiri barisan lauk-pauk menggoda: rendang, telur balado, orek tempe, usus goreng, dan sayur asem. Kamu menatap semuanya, dan si mbak warteg menatapmu balik dengan sabar (atau tidak). Lalu ia bertanya dengan nada yang seolah menantang: “Mau makan apa, Mas?”
Pertanyaan itu sederhana. Tapi di momen itulah, kamu langsung paham apa yang dirasakan Jean-Paul Sartre seumur hidupnya. Dunia ini absurd, pilihan terlalu banyak. Kamu bebas, tapi justru karena itulah kamu gelisah.
Sartre menyebut ini sebagai “kutukan kebebasan”. Ia tidak percaya bahwa hidup sudah punya takdir yang jelas. Tidak ada Tuhan yang menuliskan skenario untukmu, tidak ada sutradara kosmis. Hidupmu adalah milikmu, dan kamu harus menulis naskahnya sendiri. Masalahnya? Kamu juga harus bertanggung jawab penuh atas apa pun yang kamu pilih. Termasuk kalau kamu salah ambil lauk dan perutmu menyesal.
Eksistensi Dulu, Esensi kemudian (es teh belakangan)
Sartre menolak pandangan bahwa manusia lahir sudah dengan makna tertentu. Tidak seperti kursi atau sendok yang dibuat dengan tujuan spesifik, manusia lahir tanpa blueprint. Kamu muncul di dunia ini tanpa manual book. Hidupmu kosong… sampai kamu sendiri yang mengisinya.
Kamu lahir tanpa pesanan tetap. Kamu masuk ke dunia, melihat rak lauk, dan cuma kamu yang bisa milih. Mbaknya nggak bakal milihin kamu orek kalau kamu nggak minta.
Kebebasan adalah Kutukan”: Kita Bebas, Tapi Bingung
Sartre melihat bahwa banyak orang hidup dalam kondisi yang ia sebut sebagai “bad faith” (ke-tidak-tulusan). Ini terjadi saat kita menipu diri sendiri bahwa kita tidak punya pilihan, padahal sebenarnya punya.
Misalnya:
“Aku terpaksa kuliah di jurusan ini karena ortu.”
“Aku kerja di sini karena gak ada pilihan lain.”
Dalam kacamata Sartre, ini semacam escape room eksistensial: kamu sendiri yang masuk, kamu sendiri yang pegang kuncinya, tapi kamu pura-pura nggak tahu kuncinya ada di saku celana.
Hell is Other People: Jangan Sok-sokan Jadi Orang Lain
Dalam bukunya Being and Nothingness, Sartre mengenalkan konsep “ketidaktulusan” alias bad faith. Ini bukan soal bohong ke orang lain, tapi bohong ke diri sendiri.
Contoh:
Kamu sebenarnya nggak suka kerja kantoran, tapi tetap ngantor tiap hari sambil bilang ke diri sendiri: “Aku cuma ikut arus.”
Sartre bakal bilang: “Bro, kamu lagi ngibul sama dirimu sendiri.”
Dalam drama No Exit, Sartre menuliskan kalimat paling terkenal (dan paling sering disalahpahami):
“Neraka adalah orang lain.”
Sartre mengajak kita menyadari jebakan ini, dan, sekali lagi, bertanggung jawab. Karena sekalipun kamu hidup dalam dunia penuh pandangan, kamu tetap bisa memilih sikapmu sendiri terhadapnya.
Penutup: Bebas atau Tidak, Kamu Tetap Harus Makan
Pemikiran Sartre memang terdengar berat dan menyesakkan. Tapi sebenarnya, ia sedang menyuarakan kemerdekaan terdalam manusia. Kebebasan untuk memilih, untuk gagal, untuk berubah, dan untuk menciptakan makna dari kekosongan.
Tapi ingat, kebebasan ini bukan tiket menuju bahagia otomatis. Justru karena bebas, hidup ini jadi tidak pasti, membingungkan, dan kadang bikin sakit perut. Tapi, lebih baik memilih sendiri dan mules, daripada disuapi sistem dan tetap mules.
Catatan dari penulis:
Kalau hidup ini warteg, jangan takut ambil lauk yang belum kamu coba. Kalau rasanya aneh, ya sudah, besok tinggal ganti. Yang penting kamu tahu itu pilihanmu sendiri.