Tiap kali branding diganti, kita seperti ganti kulit, padahal isinya tetap keropos. Dari “kota seribu satu jalan rusak” ke “Comedy of Java”, lalu loncat ke “69 Miles of Sea Comedy”, dan kini dibetulkan menjadi “69-Mile Sea Comedy”. Bedanya tipis, tapi dengan penuh khidmat disampaikan seolah kita baru saja menemukan kunci rahasia dari sektor pariwisata global.
Kenapa kita terobsesi dengan kalimat-kalimat pendek yang seolah bisa menyulap realitas? Apakah dengan memindahkan satu tanda hubung, ekonomi lokal langsung melonjak? Apakah wisatawan akan tiba-tiba membanjiri pantai hanya karena diksi kita terdengar lebih “internasional”?
Di sinilah jebakan itu bermula: ketika kita percaya bahwa keindahan bisa dibungkus semata oleh bahasa, bukan kerja nyata. Ketika narasi jadi pengganti pembangunan. Ketika branding jadi selimut bagi pantai yang belum siap, akses jalan yang setengah hati, dan warung-warung yang lebih banyak jual kopi instan daripada pengalaman autentik.
Jargon adalah candu. Ia memberi ilusi kemajuan tanpa perubahan. Setiap kali kata baru dicetuskan, kita merasa sudah berbuat sesuatu. Sudah memoles. Sudah tampil beda. Padahal yang berubah cuma jenis huruf di baliho.
Para penyusun jargon itu, dengan niat mulia tentu saja, berharap kata-kata bisa menyihir realitas. Mereka lupa bahwa orang yang ingin berlibur tidak sedang cari kalimat. Ia cari pengalaman. Ia ingin laut yang bersih, bukan kalimat yang licin. Ia ingin akses jalan yang mulus, bukan logo yang muluk.
Ada paradoks yang menggelikan di sini. Semakin sering kita ganti jargon, semakin kita tampak tak punya narasi. Kita bergerak di antara pujian-pujian hiperbolik terhadap tanah sendiri, surga, permata, mutiara, dan segenap metafora surgawi lain, tanpa keberanian mengakui bahwa surga ini butuh kerja, bukan semata diksi.
Tagline, seperti label produk, seharusnya datang setelah isinya siap. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya: isi masih angan-angan, label sudah dicetak. Lalu kita bertepuk tangan, menggelar konferensi pers, dan berharap seluruh dunia tiba-tiba mengenal kita lewat tiga kata Inggris yang nyaris identik dengan 1.003 pantai lainnya di muka bumi.
Ini bukan kritik terhadap bahasa asing. Ini kritik terhadap obsesi kosmetik. Terhadap mental branding tanpa bangunan. Terhadap kepercayaan berlebihan bahwa membubuhi nama baru akan mengubah nasib lama.
Dan jangan salah. Ini bukan kesalahan satu-dua pejabat. Ini budaya. Budaya instan. Budaya pamer. Budaya yang lebih suka mempercantik kartu undangan daripada memperbaiki isi acaranya.
Kelak, kalau nanti datang ide baru: “The Limestone Riviera” atau “The Hidden Blue of the South”, atau “The Blessed Coastline”, mari kita sambut dengan tepuk tangan dan harapan baru. Tapi tolong, sambil menepuk, pastikan juga bahwa kloset umum di pantai tidak lagi tanpa air.
Karena kalau tidak, jargon hanyalah mantra yang diucapkan untuk meninabobokan kita sendiri, tentang kemajuan yang belum sampai, dan surga yang masih dalam proses perbaikan jalan masuk.