Toa Masjid dan Kebisingan: Antara Syiar, Syair, dan Syaraf yang Terganggu

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi: Toa Masjid dan Kebisingan: Antara Syiar, Syair, dan Syaraf yang Terganggu
Kalau mau jujur, dan semoga kejujuran masih ada harganya hari ini, siapa yang tidak pernah mengeluh soal toa masjid?

Dan sebelum naik pitam lalu menuding tulisan ini sebagai upaya liberalisasi Islam, mari kita tarik napas, pelan-pelan, lalu hembuskan dengan perlahan.

Toa masjid bukan persoalan agama, melainkan persoalan suara, atau lebih tepatnya, persoalan volume. Ini tentang desibel, bukan dalil. Tentang kenyamanan inderawi, bukan kesalehan spiritual. Jadi mari kita kupas perkara ini secara pelan, jernih, dan bila perlu, dengan sedikit tawa yang jujur.

Suara yang Melampaui Makna

Adzan, dalam tradisi Islam, adalah panggilan mulia. Ia adalah seruan spiritual, yang jika didengarkan dengan khusyuk, mampu menggugah nurani. Tapi yang terjadi di banyak tempat hari ini bukan sekadar panggilan. Ia telah berubah menjadi kompetisi desibel. Satu masjid mulai, yang lain menyahut. Kadang saling sahutan ini lebih mirip pertandingan, bukan panggilan ibadah.

Kadang, dan ini bukan fiktif, di tengah malam buta, sebelum subuh, kita sudah disambut oleh ceramah satu arah dengan toa yang menggelegar. Topiknya bisa tentang apa saja: dari bahaya liberalisme sampai pentingnya khitan di usia baligh. Tapi pertanyaannya sederhana: apakah semua penduduk sekitar mendaftar jadi peserta pengajian subuh itu? Kalau tidak, kenapa harus disiarkan ke seluruh penjuru desa?

Ini bukan menyoal isi, tapi cara. Dan dalam tradisi filsafat komunikasi, cara menyampaikan pesan sama pentingnya dengan isi pesan itu sendiri. Bahkan kadang lebih menentukan diterima tidaknya sebuah pesan.

Masalahnya: Kita Takut Jujur

Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu pernah mengatakan bahwa dalam masyarakat hierarkis, banyak kebiasaan dijaga bukan karena berguna, tapi karena tak ada yang berani mempertanyakan. Maka, toa masjid dalam banyak konteks bukan lagi alat dakwah, tapi artefak budaya yang disakralkan, dan karenanya kebal dari kritik.

Padahal, banyak Muslim sendiri yang merasa terganggu. Tapi apa daya, mengeluh soal toa bisa dianggap setara dengan menghina agama. Ini semacam blasphemy-lite versi lokal.

Maka kita hidup dalam masyarakat yang saling berpura-pura: pura-pura nyaman, pura-pura khusyuk, pura-pura tidak terganggu, semuanya demi menghindari cap “tidak taat”, “liberal”, atau yang paling sering: “kurang iman”.

Ada satu ironi yang sering tak dibahas. Ketika orang hendak membeli rumah, salah satu pertimbangan yang muncul adalah: “Jangan terlalu dekat dengan masjid, nanti berisik.” 

Tunggu dulu, ini lucu.

Artinya, bahkan sebagian Muslim pun secara praktis menghindari sumber syiar jika syiar itu bising. Jadi yang jadi masalah bukan adzannya, tapi caranya.

Ini bukan soal tidak mencintai masjid, tapi karena kita semua manusia. Kita butuh tidur, kita butuh tenang, kita butuh ruang privat. Dan ini sah. Bahkan Rasulullah SAW pun pernah meminta para sahabat tidak mengeraskan bacaan mereka dalam shalat. Tapi entah kenapa, adab seperti ini kini seolah kalah oleh ambisi untuk terdengar paling lantang.

Agama yang Membela Kemanusiaan, atau Sebaliknya?

Inilah titik yang paling penting: ketika bicara soal toa masjid, kita harus keluar dari logika mayoritas-minoritas. Ini bukan soal menghormati non-Muslim atau tidak, melainkan soal menghormati manusia. Titik.

Kita harus berhenti melihat kritik terhadap toa sebagai serangan terhadap Islam. Justru, menata ulang penggunaan toa adalah bentuk penghormatan terhadap ajaran Islam yang menjunjung kasih sayang, kesopanan, dan kelembutan.

Lagi pula, adzan tidak diukur dari seberapa keras ia menggema, tapi seberapa dalam ia menyentuh jiwa.

Kita Butuh Sunyi

Ada ungkapan dari filsuf Blaise Pascal, “All of humanity’s problems stem from man’s inability to sit quietly in a room alone.”

Mungkin hari ini kita bisa ubah sedikit: “Sebagian masalah manusia hari ini lahir dari ketidakmampuan kita untuk menciptakan ruang sunyi bersama.”

Sunyi bukanlah kekosongan. Ia adalah ruang sakral di mana manusia bisa mendengar dirinya sendiri, atau Tuhannya, tanpa kebisingan eksternal yang mendominasi. Dan sunyi itu, dalam konteks hari ini, adalah hak dasar yang semakin langka, terutama di suatu wilayah yang terlalu banyak toa.

Penutup yang Jujur

Tulisan ini bukan seruan untuk melarang adzan. Bukan pula tuntutan untuk membungkam syiar. Tapi ini ajakan untuk kembali waras: bahwa kebisingan yang dibungkus agama tetaplah kebisingan. Dan bahwa spiritualitas tidak pernah tumbuh dari teriakan, ia tumbuh dari ketulusan, dari ruang tenang, dari suara yang mendalam, bukan membahana.

Jadi, wahai saudara-saudaraku, mari kita jujur. Tak semua yang keras itu tegas. Tak semua yang nyaring itu benar. Dan tak semua yang menggetarkan kaca jendela harus disebut syiar.

Kadang, iman yang paling tulus justru tumbuh diam-diam, tanpa toa, tanpa sorot, tanpa gegap.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS