![]() |
Pelabuhan Kartini Jepara |
Pelabuhan yang konon jadi gerbang wisata menuju Karimunjawa ini justru menyambut pengunjung dengan suasana ala latar film pascakeruntuhan peradaban. Mulai dari area parkir yang kusam, tempat wudhu yang tampak lebih cocok untuk ritual pengusiran roh halus, hingga mushola yang disebut “seperti gudang atau kandang.”
Mengutip unggahan trexx9128, narasi keluhan itu cukup menggugah, atau mengganggu, bagi siapapun yang pernah bermimpi bahwa pariwisata kita tengah menuju standar internasional:
“Pengalaman yang tidak menyenangkan and tidak mencerminkan infrastruktur yang baik. Adalah di Pelabuhan Kartini Jepara, seperti tidak di hiraukan dan tidak di pelihara dengan baik. Semua fasilitas tidak mencerminkan Kebersihan, kenyamanan, dan modern. Kurang nya rasa tanggung jawab dari mana itu yang tidak bisa Di bilang dalam kemajuan infrastruktur. LUPA untuk ruang tunggu juga tidak memadai. Tidak higienis tidak bersih alias menjijikkan pariwisata internasional kok gini.”Kutipan tersebut seolah merangkum rasa kecewa sekaligus kebingungan logis dalam satu tarikan napas. Penataan kalimat yang barangkali terpengaruh emosi sesaat ini justru memperkuat pesan: Pelabuhan Kartini bukan sekadar ketinggalan zaman, tetapi seperti lupa bahwa ia masih beroperasi di abad 21.
Dalam konteks branding wisata, ini tentu menjadi ironi. Bagaimana tidak, sementara brosur-brosur digital menjual “keindahan surgawi Karimunjawa”, pelabuhannya sendiri terkesan lebih cocok sebagai lokasi syuting Dunia Lain. Fasilitas yang disebut tak suci, mushola yang tak layak, dan ruang tunggu yang “menjijikkan”, semua berpotensi menjadi PR horor bagi stake holder terkait.
Namun mari kita bersikap adil: mungkin saja ini bagian dari konsep wisata kejutan khas Indonesia. Wisatawan diberi sensasi adrenalin sejak sebelum menyeberang. Tak hanya alam, ketahanan mental pun diuji.
Harapannya, tentu saja, kritik seperti ini tak sekadar viral, tetapi direspons nyata. Jangan sampai Pelabuhan Kartini yang menyandang nama pahlawan emansipasi justru memperlihatkan wajah infrastruktur yang terdiskriminasi. Sebab kalau tempat ibadah sudah menyerupai kandang, maka bukan hanya pariwisata yang perlu dibenahi, tapi juga rasa hormat pada pengunjung.