ketua PMI Pacitan Sindir Alus Proyek Gedung Inspektorat

Oleh: Redaksi |
Khoirul Afandi (ketua PMI Pacitan)
NGAURIS.COM, Pacitan – Kritik terhadap rencana pembangunan gedung baru Inspektorat Daerah Pacitan senilai Rp2,7 miliar makin ramai saja. Kali ini datang dari Ketua Pemuda Muslimin Indonesia (PMI) Pacitan, Khoirul Afandi, yang ikut bersuara menanggapi polemik ini.

Khoirul Afandi, pria yang akrab disapa Aka, menyoroti prioritas pemerintah daerah yang dinilainya keliru. Ia mempertanyakan, apakah pembangunan gedung dua lantai untuk lembaga pengawasan itu lebih penting daripada memperbaiki fasilitas pendidikan yang kondisinya masih memprihatinkan di banyak tempat. 
“Lebih penting mana bangun gedung pendidikan, apa gedung 2 lantai untuk pengawasan? Rakyat Pacitan, monggo nilai sendiri,” Tulis Khoirul Afandi di WAG Mukidi Wetan Pendopo.
Dengan gaya lugas, Aka menyentil cara berpikir sebagian pejabat yang menurutnya kerap menjadikan “regulasi” sebagai tameng untuk mengesahkan sesuatu yang sebetulnya lebih bernuansa keinginan pribadi atau instansi. 
“Masalah regulasi menjadi alibi kuat untuk memuluskan keinginan. Semua hanya kembali ke perasaan pejabat masing-masing,” lanjut Aka.
Tak berhenti di situ, Aka juga menyentuh sisi emosional dengan mengajak para pejabat membayangkan jika anak mereka sendiri harus belajar di sekolah yang gedungnya rusak, tidak layak, dan jauh dari standar kenyamanan. 
“Bagaimana jika anak Anda sekolah di situ dan kondisinya memprihatinkan dari gedungnya?” sindir Aka.
Pernyataan Aka ini memperkuat suara-suara kritis sebelumnya yang datang dari mahasiswa, pegiat sosial, hingga anggota DPRD sendiri. Semua mempertanyakan prioritas dan urgensi proyek yang akan memakan dana miliaran rupiah di tengah berbagai kebutuhan dasar masyarakat yang belum tertangani.

Meski pemerintah daerah berulang kali menyebut proyek ini sudah sesuai dengan regulasi, terutama terkait penguatan kelembagaan Inspektorat, kritik publik tetap menguat. Banyak yang menilai, jika hanya demi menyesuaikan porsi anggaran 0,75% dari APBD, bukan berarti harus dihabiskan untuk gedung baru yang belum tentu mendesak.

Seiring semakin banyaknya tokoh lokal yang bersuara, tekanan terhadap pemerintah daerah pun meningkat. Akankah mereka bergeming atau mulai membuka ruang evaluasi?

Yang jelas, kalau suara rakyat terus disandingkan dengan logika regulasi yang dipelintir-pelintir, yang kalah bukan sekadar proyek, tapi kepercayaan publik. (red)
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS