Kapitalisme sebagai Arsitek Hasrat: Telaah Psikologis atas Perilaku Konsumen

Oleh: Redaksi |


Ilustrasi: Kapitalisme sebagai Arsitek Hasrat: Telaah Psikologis atas Perilaku Konsumen
Kapitalisme hari ini bukan sekadar soal produksi dan distribusi barang, tetapi bagaimana menciptakan hasrat. Dalam hal ini, ia tidak bekerja seperti dosen filsafat yang menjelaskan kebenaran, melainkan seperti mantan yang tahu tombol psikologismu, dan senang memencetnya.

Behavioral economics telah membongkar kenyataan bahwa manusia bukan makhluk rasional. Kita tidak membuat keputusan berdasarkan perhitungan logis, melainkan berdasarkan intuisi, emosi, dan bahkan aroma kue hangat. Richard Thaler menyebut ini sebagai “nudge”, dorongan halus. Tapi dalam kapitalisme, nudge itu kadang terasa seperti dorongan ke jurang impulsif.

Kenapa cokelat diletakkan di depan kasir? Karena di titik itulah konsumen lelah, sedikit stress karena antrian, dan otaknya sedang rentan. Keputusan impulsif lebih mudah dilakukan saat stamina mental menurun. Ini disebut decision fatigue, kelelahan dalam mengambil keputusan membuat kita lebih mudah tergoda.

Mengapa di bar atau kasino tak ada jam? Jawabannya sederhana dan jahat: karena kapitalisme ingin kamu lupa waktu.

Di lingkungan seperti bar, lampu temaram, musik mendayu, dan tidak ada tanda-tanda waktu berlalu. Ini adalah bentuk psikologi lingkungan yang canggih: memutus kita dari realitas eksternal agar tetap terperangkap dalam konsumsi. Dalam konteks ini, kapitalisme mengupayakan semacam disorientasi eksistensial, di mana waktu, ruang, dan bahkan identitas cair dan fleksibel, selama kartu debitmu tetap valid.

Dalam iklan, kita dijejali jargon: “bebas memilih”, “jadi diri sendiri”, “ikuti kata hati”. Tapi pilihan yang disediakan sebenarnya sudah disusun sedemikian rupa. Kamu merasa memilih, padahal kamu diarahkan, dan kamu menyukainya.

Jean Baudrillard menyebut ini sebagai hiperrealitas, di mana simulasi kebebasan menjadi lebih nyata daripada kebebasan itu sendiri. Kita percaya bahwa kita otonom, padahal semua sudah diskenariokan. Kamu pikir kamu ingin beli es krim rasa matcha dengan taburan mete, padahal kamu sedang jadi korban targeted marketing dan product placement.

Kapitalisme hari ini sangat memahami bahwa manusia tidak ingin berpikir terlalu keras. Maka dia membuat keputusan menjadi mudah, cepat, dan penuh perasaan. Ia menata ruang, menciptakan atmosfer, mengatur pencahayaan, bahkan memilih musik yang diputar. Ini bukan manipulasi besar-besaran, ini ribuan nudge kecil yang tak terasa, tapi mengarah ke satu tujuan: konsumsi berulang.

Tentu saja, kita bisa menyalahkan sistem. Tapi seperti kata Slavoj Žižek, “it is much easier to imagine the end of the world than the end of capitalism.” Bahkan saat dunia terbakar, kamu mungkin masih tergoda beli bantal dengan diskon 30%.

Ironisnya, kita sering tahu kita sedang dimanipulasi, dan tetap melakukannya juga. Kita membaca artikel seperti ini, lalu menutup tab dan memesan bubble tea. Kita tahu itu rekayasa, tapi tetap menikmatinya. Mungkin karena, dalam dunia yang absurd ini, konsumsi adalah satu-satunya bentuk kendali yang tersisa. Setidaknya begitu kata iklan.

Menyadari cara kapitalisme bekerja bukan berarti kita langsung kebal terhadapnya. Tapi kesadaran adalah langkah pertama untuk tidak terus-menerus menjadi pion dalam permainan yang bahkan tak kita ketahui aturannya.

Jadi, lain kali kamu menemukan dirimu membeli cokelat di depan kasir, berhentilah sejenak dan tanya dalam hati:
“Ini aku yang memilih, atau ini sistem yang memilih lewat aku?”
Dan jika kamu tetap beli, tidak apa-apa. Setidaknya, kamu tahu kamu sedang dimanipulasi. Itu sudah lebih baik dari mayoritas orang di antrean.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS