![]() |
Ilustrasi TikTok Sebagai Alat Uji Kewarasan Massal |
Cara terbaik mengukur kesehatan mental masyarakat bukan lewat psikolog, bukan lewat survei, apalagi lewat ceramah motivator. Cukup buka TikTok. Lihat For You Page (FYP)-mu.
Kalau isinya joget nggak jelas, teori bumi datar, curhat toxic relationship, atau konten motivasi ala “kamu istimewa meski nganggur,” maka selamat: kamu sedang hidup di tengah eksperimen sosial terbesar umat manusia, dan kamu subjeknya.
Algoritma Lebih Paham Dirimu daripada Kamu Sendiri
TikTok bukan aplikasi hiburan. Ia adalah psikolog diam-diam. Dia tidak menginterogasi, tidak menceramahi. Dia cuma kasih kamu video yang kamu suka, ulang terus, sampai kamu sadar (atau malah tambah gila).Kalau kamu pernah merasa “kok FYP-ku pas banget sama mood-ku?”, itu bukan kebetulan. Itu algoritma. Dan algoritma ini seperti teman yang tahu kamu galau, tapi bukannya menenangkan, malah ngajak kamu nostalgia pakai lagu tahun 2000-an sambil nangis di kamar.
Pertanyaannya: kalau aplikasi bisa lebih ngerti kamu daripada kamu sendiri, masih pantaskah kita disebut makhluk rasional?
Joget Sebagai Bahasa Universal Kegelisahan
Di FYP, semua orang menari. Tapi tak ada yang benar-benar bahagia. Joget kini bukan lagi bentuk ekspresi seni, tapi ekspresi kegelisahan sosial. Bapak-bapak berkumis joget pakai filter kartun. Mahasiswa S2 joget sambil caption, “Skripsi tinggal daftar pustaka.” Ibu-ibu curhat rumah tangga sambil lipsync suara anak kecil. Ini bukan hiburan. Ini jeritan eksistensial dalam format vertikal 15 detik.FYP adalah Cermin
Dulu, media sosial dianggap jendela dunia. Tapi TikTok bukan jendela. Dia cermin. FYP-mu adalah refleksi algoritmik dari apa yang kamu tonton, pikirkan, dan klik diam-diam.Kalau FYP-mu penuh prank toilet dan tips glow-up instan, bisa jadi kamu haus validasi dan butuh terapi. Kalau isinya orang curhat soal trauma, selamat, kamu tidak sendirian. Dan kalau isinya full motivasi semu? Barangkali kamu sedang kehabisan harapan, tapi malu mengakuinya.
TikTok tidak menciptakan isi kepala kita. Ia hanya memutarnya kembali, seperti DJ set yang terlalu jujur.
Kita Bukan Lagi Penonton, Kita Produk
Di zaman dulu, kita menonton TV dan memaki iklannya. Sekarang, kita jadi iklan itu sendiri. Kita rela bikin konten tiap hari, ikut tren aneh, lipsync suara random, dan mengaku ini “personal branding”, padahal dalam hati cuma pengin diperhatiin.Semua orang ingin jadi konten. Tapi siapa yang nonton dengan sadar? Dan lebih penting lagi: apa konten itu bikin hidupmu lebih waras atau cuma makin kejebak dalam absurditas kolektif?
FYP dan Jalan Pulang ke Kesadaran
TikTok bukan iblis. Dia cuma cermin yang jujur. Mungkin terlalu jujur. Dan seperti semua cermin, kadang kita perlu menatapnya lama-lama, bukan untuk mencari likes, tapi untuk mencari diri sendiri yang mungkin udah lama ketumpuk efek beauty filter dan caption palsu.Karena di tengah kebisingan konten, waras itu bukan hasil, tapi perjuangan. Dan FYP-mu bisa jadi awalnya.