Tidak Beriman Pada Tuhan pun Butuh Iman

Oleh: Redaksi |

Dalam pandangan umum, orang yang tidak percaya Tuhan sering dicap sebagai orang yang “tidak punya iman.” Ateis dianggap hampa secara spiritual, kosong secara moral, dan kehilangan arah karena tidak berpegang pada sesuatu yang lebih tinggi. Seolah-olah iman itu cuma milik mereka yang percaya pada Tuhan, rajin ibadah, dan punya tempat suci untuk berdoa.

Tapi tunggu dulu. Apa iya “tidak percaya” itu berarti bebas dari keyakinan? Justru sebaliknya. Tidak percaya pada Tuhan, kalau dipikir lebih dalam, adalah bentuk iman juga. Bukan iman pada keberadaan, tapi iman pada ketiadaan. Sebuah keyakinan bahwa semesta ini tidak punya maksud tersembunyi, bahwa hidup ini tidak digerakkan oleh tangan tak terlihat, bahwa semua yang terjadi adalah kebetulan kosmik yang absurd. 

Dan itu bukan posisi yang netral. Itu bukan nihilisme malas. Itu adalah sikap batin yang aktif, berani, dan menuntut keberanian eksistensial yang luar biasa. Karena begini, orang yang percaya Tuhan punya semacam jaring pengaman. Kalau hidup sulit, mereka bisa berkata, “Tuhan pasti punya maksud.” 

Tapi orang yang tidak percaya Tuhan, mereka tidak punya jaring itu. Mereka tetap harus bangun pagi, kerja, mencintai, kehilangan, dan tetap hidup tanpa ada yang mengawasi atau memberi makna dari luar. Mereka tidak menunggu keajaiban, karena mereka tahu tidak ada. Mereka tidak marah pada Tuhan, karena mereka percaya Tuhan pun tidak ada untuk dimarahi. 

Mereka bukan manusia tanpa iman. Mereka manusia yang memindahkan pusat keyakinannya dari langit ke bumi. Dari Tuhan ke tanggung jawab pribadi. Dari kitab suci ke kesadaran moral. Dan justru karena tidak ada pahala atau hukuman abadi yang menunggu, pilihan hidup mereka jadi lebih berat, dan lebih tulus. 

Jadi ketika seseorang berkata, “Saya tidak percaya Tuhan,” jangan buru-buru menyimpulkan bahwa mereka tidak beriman. Mungkin mereka justru memeluk iman yang lebih radikal: iman bahwa hidup ini absurd, dan harus bertahan meski tak ada makna dari luar. Dan, percayalah, itu jauh lebih sulit.

Ateis Juga Punya Keyakinan

Kalau orang beragama percaya ada Tuhan walau tak terlihat, maka orang yang tidak percaya Tuhan pun harus percaya bahwa ketiadaan-Nya adalah fakta, meskipun tak bisa dibuktikan secara total juga.

Ini kayak bilang, “Saya yakin hantu tidak ada.” Terus tiba-tiba AC mati sendiri, lampu kedip-kedip, dan kamu mulai meragukan pilihan hidupmu.

Jadi bukan soal siapa yang paling “logis”, tapi siapa yang berani bertaruh pada keyakinan masing-masing. Baik percaya atau tidak percaya, keduanya bersandar pada fondasi yang sama: kepercayaan pada sesuatu yang tidak bisa dijamah dengan indera.

Iman: Bukan Monopoli Orang Beragama

Iman bukan cuma milik yang berdoa lima waktu, puasa Ramadan, atau nyari kitab suci di rak buku. Iman juga milik mereka yang percaya hidup ini cuma kebetulan semesta yang absurd.

Coba bayangkan, kamu hidup, makan, kerja, jatuh cinta, patah hati, lalu mati. Dan percaya bahwa itu semua tidak ada maksudnya sama sekali. Itu juga iman.

Dan jujur saja, mungkin itu iman yang lebih berat, karena tidak menawarkan penghiburan apa pun di ujungnya. Tidak ada surga, tidak ada reuni keluarga setelah mati, tidak ada “rencana indah Tuhan”. Hanya, kehampaan yang harus diterima dengan berani.

Yang Sulit dari Tidak Percaya: Tidak Ada Tempat Mengeluh

Kalau kamu percaya Tuhan, kamu bisa teriak, “Ya Tuhan, kenapa hidupku begini?” Tapi kalau kamu tidak percaya Tuhan, teriak ke siapa? Ke algoritma tiktok?

Ini bukan menghina, tapi justru mengagumi. Orang yang memilih untuk tidak percaya, tapi tetap hidup dengan tanggung jawab moral, empati, dan akal sehat, itu keren. Karena tidak ada hadiah ilahi yang dijanjikan, tapi mereka tetap berbuat baik. Itu spiritualitas tanpa marketing.

Jadi… Siapa yang Lebih Beriman?

Pertanyaan ini jebakan. Bukan buat membandingkan siapa yang “lebih benar”, tapi buat menyadari bahwa semua manusia hidup di atas keyakinan. Entah pada Tuhan, alam semesta, akal sehat, cinta, atau bahkan nihilisme itu sendiri.

Dan dalam dunia yang absurd ini, kadang yang kita butuhkan bukan pembuktian total, tapi kerendahan hati untuk mengakui bahwa kita semua sedang nekat dalam arah yang berbeda.

Iman Itu Manusiawi

Percaya atau tidak percaya, dua-duanya butuh nyali. Yang satu bertaruh bahwa ada makna besar yang tak terlihat. Yang satu bertaruh bahwa tidak ada apa-apa, dan tetap hidup sebaik-baiknya.

Dua-duanya sedang mengimani sesuatu. Dan dua-duanya layak dihargai. Karena di ujungnya, kita semua cuma manusia yang sedang mencoba tidak gila di semesta yang terlalu luas.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS