Tergadainya Idealisme di Ruang Kerja Senior

Oleh: Redaksi |
“Dan pada akhirnya, idealisme bukan mati, tapi digadaikan di meja rapat dengan senior yang kini pakai batik dan stempel jabatan.”
Dalam lembar-lembar tua filsafat Yunani, ada satu pertanyaan yang tak pernah habis dijawab: apa itu kebenaran? Sokrates menjelajahinya dengan logika, Plato menafsirnya dengan bayang-bayang gua, sementara hari ini, ‘aktivis’ kita cukup mengecek nomor WA senior untuk tahu arah angin.

Dulu, aktivis turun ke jalan dengan spanduk bertuliskan “Revolusi atau Mati!” kini duduk manis di pojok ruang tunggu, menunggu giliran dipanggil masuk ke ruang pimpinan instansi. Bukan untuk menggugat, tapi untuk menyampaikan “dukungan penuh” atas proyek yang bahkan rakyat sendiri belum tentu tahu urgensinya.

Persetan dengan agenda revolusi, yang penting relasi. Masa bodoh tentang idealisme, yang penting ikatan alumni.

“Mengapa kamu mendukung pembangunan Kantor Audit Internal dengan Kolam Terapi Ikan Koi?” Senyumnya merekah, penuh percaya diri. “Karena kenyamanan auditor berpengaruh pada objektivitas pemeriksaan.” Padahal terjemahannya adalah: “Karena yang punya ide kolam itu senior saya.”

Ah, Nietzsche pernah berkata: “He who has a why to live can bear almost any how.”

Tapi Nietzsche lupa menambahkan: asalkan “why”-nya bukan sekadar titipan dari senior yang sekarang duduk di eselon dua.

Maka berbondong-bondonglah aktivis baru itu menulis dukungan resmi, mengutip teori dari buku pengantar administrasi publik yang bahkan dulu tidak sempat dibaca karena sibuk ploncoan. Mereka bicara tentang integritas birokrasi, sembari menutup mata pada berapa miliar anggaran yang disedot untuk mengecat dinding baru di tengah harga beras yang terus naik.

Apakah ini pengkhianatan terhadap rakyat? Tentu tidak, kata mereka. Ini strategi. Strategi apa? Strategi bertahan hidup di republik yang semakin tidak akrab dengan idealisme.

Kita tidak sedang menyaksikan aktivisme yang mati. Kita menyaksikan aktivisme yang matang, matang dalam membaca peluang, mahir dalam mencium aroma kekuasaan, dan fasih menyembah jabatan dengan cara paling elegan: menyebutnya sebagai jalur perjuangan struktural.

Mereka bukan tidak tahu mana yang benar. Mereka hanya memilih berpihak pada yang lebih berpengaruh. Dan ketika ditanya kenapa mereka tidak turun ke jalan menolak ketimpangan atau kemiskinan struktural, mereka menjawab sambil tersenyum: “Tenang saja, semua sudah kami kawal dari dalam.” Dari dalam grup alumni, maksudnya.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS