Semua Cuma Titipan? Kenapa Tuhan Tidak Bangun Gudang Saja?

Oleh: Redaksi |

By Ngauris

“Semua cuma titipan.” 

Kalimat itu sudah jadi semacam mantera spiritual. Diucapkan saat kehilangan, saat kecewa, saat patah hati. Bahkan ketika dompet hilang di angkot pun, orang bisa berkata, “Ya sudahlah, semua memang cuma titipan.”

Kalau semua memang cuma titipan, nyawa, harta, rasa, bahkan cuaca, apa mungkin Tuhan itu seperti pemilik kos-kosan yang tidak pernah benar-benar tinggal di tempatnya sendiri? Semua barang dititipkan ke penghuni, tapi tidak ada gudang pusat yang bisa dikunjungi untuk melihat “barang-barang asli” milik-Nya. Maka wajar muncul pertanyaan: apakah Tuhan ini nggak punya tempat buat menyimpan semua itu?

Secara ontologis, Tuhan adalah Maha Segalanya. Mestinya bisa nyewa satu planet kosong buat gudang. Jupiter, misalnya. Ia besar, sepi, dan sejauh ini belum ada yang mengeklaim. Bisa disulap jadi Gudang Raya. Tinggal pasang plang di orbitnya: “Tempat Penyimpanan Resmi Titipan Tuhan.”

Tapi sampai detik ini, tidak ada koordinat yang menunjuk ke lokasi gudang tersebut. Artinya, semua masih disimpan di dalam diri manusia. Dan di situlah problemnya.

Manusia, dalam segala kerapuhannya, ditugasi jadi tempat penitipan hal-hal yang seringkali lebih besar dari dirinya sendiri. Dititipi rasa takut yang tak diketahui asal-usulnya. Dititipi cinta yang tak jelas kepada siapa harus diberikan. Dititipi rindu yang tidak pernah punya alamat. Bahkan dititipi luka yang bukan hasil kesalahan sendiri, tapi warisan turun-temurun, seperti utang keluarga.

Bayangkan saja: Tuhan mungkin seperti seniman. Ia tak menyerahkan karyanya ke museum atau galeri. Ia memilih menaruhnya di tempat yang paling rawan: di hati manusia. Karena di sanalah karya-Nya bisa hidup, tumbuh, rusak, diperbaiki, mengalami drama.

Mungkin memang begitu maksudnya. Kalau semua disimpan rapi di gudang surgawi, bersih, steril, tak tersentuh, apa artinya menjadi manusia? Takkan ada pelajaran dalam kehilangan. Takkan ada rasa sabar. Takkan ada momen menertawakan luka lama sambil menyeduh kopi instan di dini hari.

Namun tetap saja, kadang terbersit protes kecil dalam hati. Kalau semua cuma titipan, apakah boleh membuka cabang? Bikin loker tambahan? Atau sekadar minta bukti tertulis bahwa ini benar-benar titipan, bukan tanggung jawab permanen. Kadang muncul rasa bahwa Tuhan terlalu percaya pada manusia. Dan itu, bikin deg-degan.

Tapi mungkin justru karena itulah manusia disebut mulia: karena dipercaya. Dititipi hidup, meski sering gamang menjalaninya. Dititipi cinta, meski belum selesai berdamai dengan luka. Dititipi waktu, meski terlalu sering habis untuk scrolling tanpa arah.

Maka pada akhirnya, tugas utama mungkin bukan mencari gudang Tuhan di langit atau planet lain. Tapi menjadikan diri sebagai gudang yang layak. Menata ulang, membereskan, menyortir, menyimpan yang bernilai, melepaskan yang memang harus pergi. Siapa tahu, suatu hari nanti, saat Tuhan datang mengambil kembali titipan-Nya, bisa terucap: “Ini lho, sudah saya rawat sebaik mungkin.”

Dan mungkin Tuhan, tersenyum. Lalu berkata, “Titipan berikutnya segera datang.”

Dan hidup terus berputar, seperti laci-laci kecil dalam hati yang terus dibuka dan ditutup oleh sesuatu yang lebih besar dari kita. Kadang bingung, kadang lelah, tapi entah kenapa, tetap dijalani juga.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS