Republik Satgasia: Negeri Seribu Tim Khusus

Oleh: Redaksi |

Republik Satgasia: Negeri Seribu Tim Khusus | Ngauris

Kita hidup di negeri yang sangat mencintai struktur. Saking cintanya, tiap ada masalah dikit langsung dibentuk tim kecil, panitia ad hoc, atau satgas dengan logo garang. Listrik padam di kampung? Bikin Gerakan Indonesia Terang Benderang. Harga cabe naik? Bentuk Tim Nasional Pengendali Pedas. Mahasiswa demo? Buat Forum Koordinasi Kesejukan Nasional. 

Padahal, kadang cukup satu genset, satu warung kopi, dan satu tukang listrik kampung. Tapi tidak. Karena kita bangsa yang meyakini bahwa kalau tidak pakai konferensi pers, banner megah, dan konsumsi snack premium, maka itu belum solusi.
 

Mekanisasi Masalah, Ritual Baru Bangsa

Masyarakat kita tampaknya telah berpindah dari upaya ontologis ke arah fungsional, seperti yang dikatakan Van Peursen. Maksudnya? Dahulu kala, orang kalau lihat masalah bertanya: “apa yang sebenarnya terjadi?” Sekarang, langsung melompat ke: “apa yang perlu kita bentuk untuk kelihatan sibuk?”

Misal, banjir datang saban tahun. Solusinya bukan memperbaiki sistem drainase atau mengatur tata ruang, tapi bikin seminar nasional bertajuk “Revitalisasi Manajemen Air dalam Perspektif Millennial”. Dibiayai APBD, dengan narasumber yang suka pakai istilah “holistik-integratif”.

Kalau ada kejahatan jalanan, solusinya bukan patroli rutin, tapi deklarasi komunitas “Warga Siaga 7.0” yang berakhir dengan selfie massal dan hashtag trending satu malam.

Negara dalam Dunia Simulasi

Kita bisa bilang, negara hari ini seperti panggung sandiwara postmodern, bermain di atas simulasi dari Jean Baudrillard. Alih-alih menyelesaikan persoalan, negara kita malah sibuk memproduksi citra penyelesaian. Citra tentang kerja. Citra tentang ketegasan. Citra tentang reformasi. Semua disiarkan dalam format infografis pastel.  Yang penting terlihat ada aksi. Substansi? Belakangan.

Warga pun lama-lama terbiasa. Bahkan mulai berpartisipasi. Bikin laporannya sendiri, kontennya sendiri, reaksinya sendiri. Negara jadi reality show raksasa. Dan rakyat, audiens yang aktif menertawai keseriusan negara sambil tetap membayar pajak dan berdoa agar BBM tak naik pekan ini.

Lelucon yang Serius, Serius yang Lucu

Apa yang lucu dari semua ini? Bahwa semua orang seolah sadar ini konyol, tapi tetap dijalani seolah sakral. Negara jadi seperti badut yang ngotot main drama Shakespeare. Mencoba tragis, tapi jatuhnya slapstick. Dan kita, penonton dengan popcorn kritis, cuma bisa bilang: “kok gini amat, ya?”

Tapi lucunya lagi: banyak yang sungguh-sungguh dengan lelucon ini. Ada yang betul-betul percaya bahwa diskusi panel bisa mengusir kemiskinan. Atau bahwa pengadaan sepuluh laptop bisa menyalakan nalar kritis seluruh pelajar Indonesia. Hebat.

Ini bukan sinisme. Ini dokumentasi. Kalau kita tak sempat mengubah, minimal kita bisa mengingat.

Ontologi yang Terpinggirkan

Dulu, pemimpin itu bertanya “mengapa” sebelum “bagaimana”. Sekarang, “bagaimana menyusun laporan pertanggungjawaban kegiatan” lebih penting daripada “apakah kegiatan ini perlu?”. Ini bukan sekadar soal politik, tapi soal kebudayaan berpikir.

Kita telah terlalu lama hidup dalam dunia performatif: di mana nilai diukur dari seberapa sering tampil di media, bukan seberapa banyak masalah diselesaikan. Van Peursen mungkin menulis ini dengan khusyuk di perpustakaan, kita membuktikannya di halaman beranda berita setiap hari.

Mari Menertawakan Secara Produktif

Mungkin yang bisa kita lakukan hari ini bukan cuma marah, tapi juga tertawa, dan mencatat. Karena kadang, perubahan tak datang dari yang serius, tapi dari mereka yang cukup jujur mengakui betapa lucunya dunia ini.

Negara ini terlalu besar untuk dipahami, tapi terlalu absurd untuk diabaikan. Maka mari kita hadapi dengan tertawa, berpikir, dan, sesekali, nyalakan genset sendiri.

Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS