![]() |
Ilustrasi - Renungan Filosofis di Depan Kulkas Indomaret |
Dalam sejarah peradaban manusia, godaan selalu menjadi tema besar. Dari buah terlarang di Taman Eden, godaan kekuasaan dalam The Lord of the Rings, hingga yang paling kontemporer dan underrated: kulkas di Indomaret. Ya, tempat suci nan dingin itu, di mana iman diuji bukan oleh iblis, melainkan oleh botol-botol berembun yang berjejer manis seperti barisan malaikat palsu.
Kulkas Indomaret bukan hanya tempat menyimpan minuman dingin. Ia adalah altar konsumerisme modern. Di balik pintunya yang transparan, tersembunyi dilema eksistensial: apakah manusia masih bisa hidup tanpa C1000, Yuzu Tea, atau Milo Nutri-Up? Atau akankah kita menjadi Sisyphus abad ke-21, terus mengulang siklus melihat-lihat kulkas tanpa membeli, lalu mengulangi lagi minggu depan?
Antara Haus, Nafsu, dan Harga Promo
Tidak ada yang lebih membingungkan selain perasaan haus yang tidak haus-haus amat. Itulah saat kulkas Indomaret mengeluarkan aura magisnya. Ketika tubuh tidak butuh, tapi pikiran berkata: “Kamu pantas bahagia.”Ada tulisan Buy 2 Get 1 Free, padahal kamu cuma butuh satu. Tapi siapa sih yang kuat menolak diskon? Di titik ini, iman diuji. Apakah kamu akan menahan diri demi saldo e-wallet yang sedang kritis? Ataukah kamu akan menyerah pada promosi yang secara tidak langsung berkata, “Orang yang hemat itu nggak keren”?
Dalam filsafat, ini disebut konflik antara epithymia (keinginan rendah) dan nous (akal budi). Tapi di kulkas Indomaret, konflik itu jadi nyata. Kita jadi makhluk absurd, tahu minuman dingin itu tidak perlu, tapi tetap merasa hidup akan lebih baik setelah meminumnya. Apakah itu kebodohan, atau justru kebijaksanaan era modern?
Pilihan, Identitas, dan Citra Diri di Mata Kasir
Momen paling filosofis di depan kulkas bukan saat memilih minuman, tapi saat kamu sadar kasir sedang memperhatikan. Ini bukan tentang minuman lagi. Ini soal pencitraan.Beli Le Minerale? Kamu terlihat sehat dan membosankan. Ambil Kratingdaeng? Kamu seperti habis putus cinta dan tidak tidur dua hari. Pilih You C1000? Kamu seperti anak kos yang ingin terlihat peduli imun padahal baru bangun siang.
Filsuf Sartre bilang, “L’enfer, c’est les autres” , Neraka adalah orang lain. Tapi kalau Sartre hidup hari ini, mungkin dia akan revisi: “Neraka adalah tatapan kasir saat kamu ragu-ragu ambil minuman harga Rp9.500 padahal tinggal saldo Rp10.000.”
Kulkas sebagai Simbol Kapitalisme Dingin
Dalam kacamata Marxian, kulkas Indomaret adalah metafora sempurna dari kapitalisme laten. Ia menjual bukan hanya produk, tapi gaya hidup. Kamu tidak sedang membeli teh dingin, kamu sedang membeli versi keren dari dirimu yang minum teh dingin di siang bolong.Minuman-minuman itu dirancang untuk menciptakan false needs. Hausmu bisa selesai dengan air galon di rumah, tapi siapa yang mau jadi biasa saja? Konsumerisme bekerja bukan dengan paksaan, tapi dengan imajinasi. Kamu membayangkan dirimu jadi lebih segar, lebih bahagia, lebih hidup, padahal cuma bertukar cairan gula dengan uang receh terakhir di dompet.
Kulkas itu seperti kapitalis yang lembut tapi tega. Ia tidak berteriak. Ia hanya berembun dengan sabar, menunggu kamu datang dan bertanya pada diri sendiri: Kenapa hidup ini terasa hampa tanpa teh botol varian baru?
Rebahan, Refleksi, dan Penyesalan Pasca Pembelian
Setelah minuman itu dibeli dan diminum, datanglah tahap kontemplatif. Kamu rebahan. Lalu muncul bisikan halus: “Kenapa tadi beli ya?” Rasanya enak, segar, tapi cepat hilang. Sama seperti cinta satu malam atau semangat skripsi yang datang karena kopi sachet.Di titik ini, kamu merenung: mungkin kulkas itu bukan tempat minum, tapi tempat belajar. Ia mengajar kita tentang keputusan, penyesalan, dan harapan. Sama seperti hidup, kadang kita memilih bukan karena perlu, tapi karena takut ketinggalan. FOMO dalam bentuk cair.
Dan di atas kasur, dengan perut kembung dan saldo e-wallet yang terasa seperti ruang interogasi, kamu sadar: imanmu memang kuat, tapi tidak lebih kuat dari dinginnya kemasan botol yang menyentuh tanganmu dengan lembut namun mematikan.
Jangan Salahkan Kulkas, Salahkan Eksistensi
Sekuat-kuatnya iman, manusia tetap makhluk lemah di hadapan pilihan yang tidak penting tapi terasa mendesak. Kulkas Indomaret bukan musuh. Ia hanya cermin. Ia memperlihatkan siapa kita sebenarnya: makhluk haus, bukan hanya akan minuman, tapi juga akan makna, status, dan sensasi “reward kecil” di tengah hidup yang tidak masuk akal.Maka lain kali kamu berdiri di depan kulkas, ingatlah ini: kamu tidak sendirian. Di dunia yang absurd, membeli minuman dingin bisa jadi bentuk perlawanan. Bukan karena kamu lemah, tapi karena kamu sedang mencoba merasa hidup, meski hanya lewat segelas teh yang terlalu mahal dan terlalu manis.