![]() |
Giat lapak baca oleh Pustaka Rakyat |
Pustaka Rakyat lahir bukan dari laboratorium riset sosial atau strategi konten algoritma. Ia lahir dari keserahan. Ya, benar: keresahan. Bukan keresahan biasa, tapi keresahan nasional, akibat kabar memilukan bahwa budaya baca bangsa kita masih bertengger manis di peringkat bawah dunia. Kalau budaya baca itu lomba lari, Indonesia mungkin masih dalam tahap belajar merangkak. Mungkin. mudah-mudah Ngauris salah.
Bayangkan, di tengah bangsa yang warganya bisa menonton video kucing nyanyi 3 jam tanpa bosan, tapi membaca 3 paragraf sudah minta ringkasan dan versi PDF-nya, Pustaka Rakyat datang membawa misi yang nyaris bunuh diri: membuat aktivitas membaca kembali menyenangkan. Atau setidaknya, tidak menakutkan.
Dengan kegiatan lapak baca gratis, komunitas ini menggelar buku-buku seperti pedagang kaki lima menggelar dagangan. Bedanya, dagangan mereka bukan gorengan atau cilok, tapi ilmu pengetahuan dan kisah-kisah yang bisa menggugah imajinasi, memperluas wawasan, bahkan memperbaiki nilai Bahasa Indonesia siswa-siswa yang terlalu percaya pada autocorrect.
Selain itu, ada juga kegiatan belajar menulis. Karena membaca dan menulis itu seperti nasi dan lauk, melengkapi satu sama lain. Dalam dunia yang terlalu sibuk menulis caption estetik, mereka justru mengajak anak-anak muda untuk menulis hal-hal yang lebih panjang dari deskripsi reels. Siapa tahu, suatu hari nanti, ada karya tulis mereka yang menyalip popularitas video mukbang.
Namun, tantangan Pustaka Rakyat bukan main-main. Mereka harus bersaing dengan konten-konten yang bisa menarik perhatian hanya dalam 0,5 detik. Harus bersaing dengan dopamine yang dilepaskan setiap kali seseorang melihat notifikasi baru, like, atau komentar “cakep banget” di postingannya.
Maka, dalam upaya mereka, buku tidak bisa hanya tampil sebagai benda bersampul tebal yang bikin ngantuk. Buku harus dihidupkan, dibuat menyenangkan, diajak bercanda, ditaruh di tempat yang mudah diakses, bahkan di trotoar atau bawah pohon rindang. Harus diubah dari simbol beban tugas sekolah menjadi teman main yang asyik dan ramah.
Pustaka Rakyat mungkin kecil. Belum punya kantor besar, belum diundang ke podcast-podcast mewah, belum trending di X. Tapi mereka punya satu hal yang mahal: keteguhan. Keteguhan untuk terus membaca di saat semua orang lebih memilih menonton. Keteguhan untuk mengajak, bukan memaksa. Dan keteguhan untuk percaya bahwa satu buku bisa mengubah satu pikiran, dan satu pikiran bisa mengubah banyak hal.
Mungkin mereka tidak akan langsung mengubah peringkat literasi nasional. Tapi mereka sedang menanam benih yang kelak bisa menjadi pohon besar. Pohon yang akan menaungi generasi baru, yang tahu cara scroll down tapi juga tahu cara membuka halaman pertama buku, dan tetap penasaran sampai ke halaman terakhir.
Karena di tengah dunia yang terlalu cepat, membaca adalah tindakan radikal. Dan Pustaka Rakyat adalah pemberontak yang sopan (kadang), melawan kebodohan dengan membaca pelan-pelan.