![]() |
Freepict |
Produktivitas telah berubah dari sarana menjadi tujuan itu sendiri. Kita dulu bekerja supaya bisa hidup. Sekarang kita hidup supaya bisa kerja, biar bisa pamer bahwa kita hidupnya produktif. Kalau bisa ditambah kopi estetik, hoodie yang nggak pernah dicuci, dan caption “grind never stops”, maka selamat, kamu sudah naik level jadi budak zaman yang premium.
Lucunya, semua orang tahu ini absurd. Tapi tetap dilakukan. Seolah-olah diam itu dosa. Rehat itu aib. Tidur siang tanpa alasan medis bisa bikin kamu dikira nganggur. Dan jangan coba-coba upload story lagi ngelamun di taman, nanti dikira kamu depresi atau habis putus cinta. Padahal bisa jadi kamu cuma menikmati dunia tanpa deadline.
Ironisnya, banyak dari kita sudah lupa kenapa mulai sibuk. Apakah pekerjaan ini benar-benar kita suka? Apakah pencapaian ini bikin bahagia? Atau kita cuma ikut lomba lari yang nggak pernah kita daftarin? Dunia produktivitas modern mirip game open world tanpa misi utama: kita disuruh jalan terus, grinding terus, tapi ending-nya tetap nihil.
Yang penting kelihatan sibuk. Soal hasil, nanti dulu. Soal arah, nanti aja. Kita hidup di tengah generasi yang bisa kerja 12 jam sehari tapi nggak tahu buat apa. Bisa posting target mingguan tanpa pernah merasa cukup. Bisa ikut 3 webinar pengembangan diri dalam sehari tapi tetap merasa diri kurang.
Dan mungkin memang itu tujuan sistem ini: bikin kita sibuk terus supaya kita nggak sempat mikir bahwa semua ini mungkin nggak perlu. Bahwa mungkin justru yang kita butuhkan bukan cara baru untuk produktif, tapi keberanian untuk berhenti sejenak dan nanya, “Sebenarnya aku ngapain sih?”
Sayangnya, pertanyaan itu terlalu sunyi. Jadi lebih baik buka laptop lagi, update LinkedIn, pasang status: “Tetap semangat walau bingung.” Lalu lanjut ngetik to-do list yang akan kita benci 15 menit kemudian.
Selamat bekerja. Atau setidaknya, selamat terlihat bekerja.