Preman Politik: Bandit Demokrasi, Berkuasa Tanpa Etika.

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi preman politik
Selain ‘Preman Spiritual’, negri kita yang kaya ini juga punya ‘Preman Politik’, mereka tidak perlu tato atau pentungan, cukup kuasa, pasal, dan kamera. Preman politik bukan sekadar politikus yang galak, tapi politisi yang menjadikan kekuasaan sebagai alat gertak, bukan pengabdian.

Mereka muncul di setiap zaman. Dulu pakai seragam, sekarang pakai jas. Dulu main otot, sekarang main framing. Mereka akan bilang “ini untuk rakyat” sambil membabat hutan, menyegel tanah adat, dan membungkam aktivis. Kalau ada kritik, langsung dibalas dengan “pelanggaran etika” atau pelaporan ke aparat. Padahal yang diserang cuma ego mereka, bukan negara.

Preman politik bukan soal partai atau ideologi. Ini soal mentalitas. Mereka memandang politik bukan sebagai ruang dialog, tapi arena dominasi. Mereka tidak mau menang argumen, mereka mau lawan bungkam. Mereka tidak peduli hukum, karena mereka pikir merekalah hukum itu sendiri. 

Tanda-tandanya gampang:
  • Mereka lebih sering marah daripada menjelaskan. 
  • Mereka lebih sibuk jaga citra daripada jaga amanat. 
  • Mereka anggap rakyat itu penonton, bukan pemilik suara. 
Dan ironisnya, banyak dari kita malah ikut bersorak. Karena dalam masyarakat yang lelah dengan ketidakpastian, gaya preman dianggap tegas. Padahal ketegasan tanpa kebijaksanaan itu cuma kedok tirani. Demokrasi yang sehat butuh pemimpin yang kuat hati, bukan yang kuat mengancam.

Kalau kita diam, preman politik akan merasa benar. Kalau kita takut, mereka akan terus merasa besar. Padahal dalam sistem demokrasi, suara kita seharusnya lebih nyaring dari gertakan mereka. Jangan sampai negara ini dikuasai oleh mereka yang lebih pandai menakut-nakuti daripada melayani.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS