![]() |
Ilustrasi Polemik Ijazah Jokowi dan Kutukan Orang Kurang Kerjaan |
Begini, mari kita jujur dari awal: kita tidak tahu apakah ijazah itu palsu atau tidak. Tapi yang kita tahu, kita adalah bangsa yang sangat bersemangat membicarakan hal-hal yang, maaf, tidak ada urusannya langsung dengan kita. Dan inilah yang disebut sebagai kutukan orang kurang kerjaan.
Ijazah adalah benda suci dalam kebudayaan birokratis. Kita bisa tidak tahu isi skripsi kita sendiri, tapi kita akan mati-matian melaminating ijazahnya.
Ia tidak hanya menjadi bukti kompetensi, tapi juga tiket masuk ke ruang-ruang kekuasaan dan pengakuan sosial. Dan ketika seseorang duduk di singgasana kekuasaan tertinggi, Presiden Republik Indonesia, lalu ada yang bilang ijazahnya palsu, ini bukan sekadar tuduhan. Ini tamparan terhadap sistem simbolik seluruh bangsa.
Karena itu, respons kita bukan sekadar ingin tahu. Kita ingin membela kehormatan, atau… setidaknya, merasa berperan dalam sejarah. Karena, mari akui saja: kita ini haus peran dalam cerita besar, meski lewat kolom komentar.
Yang menarik, penuduhnya tidak asal bicara. Dia tidak bilang: “Saya dengar dari tetangga teman saya yang pernah ke Solo…” Tidak. Dia bikin penelitian. Dia pakai logika. Dia bahas format ijazah, bentuk stempel, tanda tangan, hingga jenis font, sebuah dedikasi yang hanya mungkin lahir dari dua hal: idealisme, atau waktu luang yang sangat berlebih.
Dan di sinilah kita harus berterima kasih kepada para kaum kurang kerjaan: mereka menjaga semangat keingintahuan tetap hidup. Bayangkan kalau semua orang hanya sibuk kerja, urus anak, bayar cicilan, siapa yang akan mengecek keaslian ijazah presiden dari dekade lalu?
Masalahnya, ketika tuduhan disampaikan secara (katanya) ilmiah, jawabannya justru keluar dari jalur:
“Sudah diklarifikasi oleh pihak kampus.”“Teman-teman kuliahnya sudah bersaksi.”“Dia sudah jadi presiden dua periode, ngapain diributin?”Lho? Kalau itu logikanya, mari kita revisi seluruh sistem pembuktian ilmiah. Tidak perlu lagi uji DNA kalau ibu korban sudah bilang: “Saya yakin itu anak saya.”
Tidak perlu sidang skripsi, cukup dosennya bilang: “Saya kenal anaknya, baik kok.”
Kita ini memang unik: bisa mengabaikan ketimpangan ekonomi, korupsi, dan kriminalisasi petani, tapi mendadak melek hukum dan metodologi kalau ada isu ijazah. Ini bukan ironi, ini semacam hobi nasional.
Kita mencintai misteri kecil yang bisa dijadikan bahan debat panjang: mulai dari “Apakah Soeharto pahlawan atau penjahat?” sampai “Apakah ini ijazah asli atau hasil scan tukang fotokopi depan kampus?”
Mungkin karena hal-hal besar terlalu membuat frustrasi. Harga beras naik? Kita pasrah. Tapi ijazah presiden? “Aha! Ini bisa saya bahas di Twitter, bikin utas, terus jadi narasumber podcast.”
Namun, jangan remehkan kekuatan orang kurang kerjaan. Ingat: Newton menemukan gravitasi karena bengong di bawah pohon. Karl Marx nulis Das Kapital karena enggak diterima kerja. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, sejarah akan mencatat bahwa negara ini berhasil menemukan kembali nilai transparansi dan tanggung jawab akademik, berkat satu orang yang mempertanyakan font pada ijazah.
Polemik ijazah ini, entah valid atau tidak, sejatinya bukan soal ijazah. Ini soal kerinduan kita untuk merasa bisa mengoreksi kekuasaan, meskipun lewat perkara remeh.
Dan itu sah saja. Asal jangan lupa: sambil kita membedah stempel dan tanda tangan, di luar sana ada petani digusur, buruh di-PHK, dan anak-anak putus sekolah karena tak sanggup beli seragam.
Kadang, kurang kerjaan bisa melahirkan kesadaran. Tapi kalau keterusan, ia berubah menjadi distraksi massal yang membuat kita sibuk pada hal yang salah, terlalu lama.
Mungkin sebaiknya kita semua cari kerjaan yang lebih produktif. Atau kalau tetap ingin menyelidiki sesuatu, saya punya misteri yang belum terpecahkan sejak SD: Ke mana sebenarnya larinya tutup pulpen kita setiap hari?