![]() |
Ilustrasi - Pembenaran: Drama Lanjutan Setelah Kebohongan |
Pembenaran bukan sekadar alasan. Ia adalah seni. Ia membutuhkan kreativitas, nalar yang lentur, dan kadang, kemampuan akting level Oscar, terutama ketika lawan bicara kita adalah diri sendiri.
Tak Hanya Bohong, Kita Juga Pandai Mewakilkannya Sebagai Pilihan Bijak.
Bohong sering terlalu telanjang jika berdiri sendiri. Ia akan tampak konyol, lemah, dan mudah dibantah. Maka muncullah pembenaran, untuk memberinya baju, panggung, bahkan standing ovation.Contoh:
- “Aku nggak bilang ke dia karena aku nggak mau bikin dia sakit hati.” (Padahal, kamu cuma takut konfrontasi dan ingin menghindar.)
- “Aku curang karena sistemnya juga nggak adil.” (Padahal kamu memang pengen enak sendiri dari awal.)
- “Aku ninggalin dia demi kebaikan bersama.”(Padahal cuma bosan dan nemu yang baru.)
Dan siapa yang paling kita harapkan percaya? Bukan orang lain. Tapi… ya, itu tadi: diri sendiri.
Logika Bisa Dibengkokkan. Dan Kita Mahir Melakukannya.
Socrates boleh bilang hidup yang tak diperiksa tak layak dijalani. Tapi kadang, hidup yang terlalu diperiksa malah bikin kepala cenat-cenut. Maka kita ganti: bukan “examination of truth”, tapi “rationalization of action”. Kita pakai akal bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk mendukung keputusan yang sudah kita ambil, bahkan kalau jelas-jelas keliru.Kita semua pengacara bagi diri kita sendiri. Siap membela apapun, asal terlihat sah. Bahkan kalau kasusnya sudah terang benderang.
Logika? Bisa dibengkokkan.
Nilai? Fleksibel.
Motif? Bisa ditulis ulang dengan diksi yang lebih humanis.
Dan makin tinggi kemampuan berpikir kita, makin canggih cara kita membenarkan hal-hal absurd. Sialnya, makin canggih pula cara kita tersesat.
Pembenaran Itu Nyaman, Tapi Berbahaya
Berbeda dari bohong yang sering datang dengan rasa bersalah, pembenaran menawarkan ketenangan. Kita bisa tidur nyenyak, karena kita merasa benar. Padahal kebenaran itu sudah tergeletak di luar pagar, beku dan dicuekin.Pembenaran membuat kita tahan menyakiti orang tanpa merasa jahat. Membuat kita mencampakkan sesuatu dengan wajah tenang. Membuat kita berkeliaran dengan penuh percaya diri, karena kita membawa narasi versi kita sendiri.
Namun ada satu masalah kecil: kenyataan tidak peduli.
Kenyataan tak bisa dijungkir-balikkan selamanya hanya karena kita pintar merangkai kalimat. Ia akan menagih. Dan biasanya, tagihannya datang tiba-tiba, lewat peristiwa, percakapan, atau bahkan lewat keheningan yang sunyi dan mematuk batin.
Lalu Bagaimana? Harus Selalu Salah?
Tenang. Ini bukan kampanye jadi manusia suci. Kita semua pernah membenarkan sesuatu yang keliru. Itu bagian dari cara kita bertahan. Toh, hidup tak datang dengan manual book moral yang bisa dikonsultasikan setiap kali galau.Tapi mungkin, alih-alih buru-buru membenarkan, kita bisa coba jeda. Bertanya: “Kenapa aku perlu membuat alasan ini? Apakah ini sungguh benar… atau hanya enak didengar?”
Kadang, pengakuan itu lebih membebaskan daripada pembenaran.
Mengakui salah bukan kelemahan. Justru itu satu-satunya jalan keluar dari lingkaran bohong dan pembelaan diri yang tak ada habisnya.
Penutup yang Ganjil Tapi Manusiawi
Banyak yang hidup dalam dunia yang ia karang sendiri. Dari kebohongan, lalu pembenaran, lalu identitas baru yang tampak rapi tapi berakar dari penyangkalan. Dan semua itu melelahkan.Tapi kabar baiknya: selalu ada jalan pulang. Tidak perlu pakai karpet merah. Tidak perlu sambutan. Cukup duduk, diam sebentar, dan berkata jujur ke diri sendiri:
“Mungkin aku cuma takut. Tapi kali ini, aku nggak mau menipu lagi.”
Itu saja sudah revolusioner.