Opini WTP: Prestasi atau Pencitraan Berstandar Akuntansi?

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi Opini WTP: Prestasi atau Cuma Pencitraan Berstandar Akuntansi?
Di negeri ini, ada satu prestasi yang disambut lebih meriah dari ulang tahun kepala daerah, lebih heboh dari kelulusan CPNS, dan lebih sering dipajang daripada foto mantan di dompet: Opini WTP dari Badan Pemeriksa Keuangan. 

Setiap tahun, begitu hasil audit keluar dan tertulis “Wajar Tanpa Pengecualian”, para pejabat langsung semangat bikin konferensi pers, pasang baliho ucapan selamat dari diri sendiri untuk diri sendiri, sampai bikin karangan bunga seolah-olah baru menang lomba kebersihan antar-RT. Bahkan tak jarang, berita tentang WTP ini dibacakan dengan bangga oleh MC acara kenegaraan yang suaranya lebih dramatis dari sinetron Indosiar.

Padahal, opini Wajar Tanpa Pengecualian itu bukan berarti nggak ada masalah. Itu cuma berarti laporan keuangannya rapi, tertata, dan tampak wajar, kayak dompet tipis yang disusun biar kelihatan tebal. Soal apakah anggaran disalurkan tepat sasaran? itu urusan belakang layar, yang penting laporannya wajar. Soal nyatanya, bisa didiskusikan di warung kopi.

WTP itu bukan berarti pengelolaan keuangannya sempurna dan suci dari dosa. Bukan juga berarti semua proyek jalan udah mulus kayak pipi artis TikTok, atau bantuan sosial tepat sasaran sampai ke dapur warga. WTP hanya berarti: “Laporan keuangannya kelihatan wajar dan sesuai standar akuntansi.” Kita semua tahu, pencatatan bisa rapi, tapi prakteknya bisa ngadi-ngadi. Bayangin: ada bangunan mangkrak, tapi laporan belanjanya kinclong.

Loh? Jadi, bisa aja dong kelihatan wajar, padahal isinya jebakan batman?  Ya bisa. Namanya juga laporan. Kalau dibuat dengan niat dan excel yang cukup, semuanya bisa terlihat suci. Ibarat nulis skripsi hasil plagiat tapi footnote-nya lengkap, dosen mungkin luluh.

Yang lebih lucu lagi, WTP ini kadang dijadikan alat pencitraan politik tingkat dewa. Kepala daerah yang dapet WTP langsung naik panggung politik dengan wajah cerah penuh harapan, bilang bahwa ini bukti keberhasilan pemerintahannya. Seolah-olah dia sendiri yang berjibaku menyusun laporan keuangan, begadang ngitung saldo kas, sampai ngeluarin air mata waktu nemuin selisih lima ribu.

Padahal, yang kerja keras siapa? Pegawai BPKAD, auditor internal, anak magang, dan tentu saja konsultan akuntansi yang dibayar dengan sistem “tanda terima kasih.” Sementara itu, sang pejabat tinggal datang pas foto-foto, senyum, dan siap naik baliho.

Lebih tragis, kadang daerah yang dapet WTP justru punya realitas di lapangan yang bikin kening berkerut: jalan masih becek, sekolah bocor, rumah sakit kekurangan obat, tapi laporan keuangannya cakep. Kayak orang yang fotonya glowing di Instagram, padahal aslinya lagi pilek dan makan mi instan seminggu penuh. Tapi karena tampilannya rapi dan sesuai format, yaudah: WTP.

Akhirnya, kita pun belajar satu hal penting: di republik ini, tampilan kadang lebih penting dari kenyataan. Yang penting laporan terlihat beres, meski proyeknya mangkrak. Yang penting neraca keuangan balance, walau moralnya deficit. Yang penting WTF, eh WTP.

Jadi, kalau kamu lihat pejabat bangga banget pamer WTP, tepuk tanganlah dengan antusias. Bukan karena keuangannya udah bersih, tapi karena dia berhasil menyembunyikan kekacauan dengan sangat rapi. Itu juga seni, Bung.

Dan buat rakyat? Ya kita cukup puas nonton baliho dan berharap semoga tahun depan, yang wajar bukan cuma laporan keuangannya, tapi juga hatinya.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS