![]() |
Ilustrasi - Negara, Sejenis Grup WhatsApp yang Tidak Bisa Kita Leave |
Kita semua pernah ada dalam satu grup WhatsApp yang isinya random, obrolannya toxic, atau penuh pesan berantai dari tahun lalu yang masih dikirimin ulang. Grup yang kita tidak bisa keluar karena isinya orang tua, dosen pembimbing, atau…. negara.
Ya, negara. Lembaga yang katanya suci, sakral, hasil perjanjian sosial, atau buah dari perjuangan berdarah-darah itu, sekarang rasanya lebih mirip grup WhatsApp keluarga besar yang diam-diam bikin kita capek, tapi tetap kita baca juga. Bukan karena suka, tapi karena takut dibilang tidak nasionalis. Atau karena masih butuh bantuan surat domisili.
“Negara Hadir”: Tapi Cuma Baca, Nggak Pernah Balas
Kita sering dengar jargon, “Negara harus hadir!” Tapi kalau diperhatikan baik-baik, kehadiran negara mirip banget sama orang yang cuma baca chat grup tapi nggak pernah balas. Cuma centang biru. Pemerintah tahu kita butuh subsidi, akses pendidikan, layanan kesehatan… tapi jawabannya mana? Reaksinya pun cuma emoji: “Like”, “Sedih”, atau “Diperhatikan, ya dek.”Kadang negara malah lebih suka ngirim broadcast: ucapan selamat hari ini-itu, promosi program, atau polling yang hasilnya nggak pernah diumumkan. Mirip sepupu jauh yang tiba-tiba ngajak reuni padahal dulu nggak pernah main bareng.
Admin Tak Terpilih, Tapi Selalu Aktif
Lucunya, kita nggak pernah ‘benar-benar milih’ admin grup negara ini secara langsung. Atau kalaupun milih, pilihannya sudah ditentukan oleh para admin lainnya.Dan, kadang adminnya malah seakan lupa bahwa dia ada karena kita. Bukannya ngurus grup, dia malah sibuk posting pencitraan, buka lapak donasi, atau ribut sama admin lain sambil bikin peraturan baru yang nggak pernah disahkan lewat voting.
Peraturan Grup: Banyak Tapi Nggak Pernah Ditegakkan
Grup negara ini juga punya banyak aturan. Ada undang-undang, pasal-pasal, protokol, sampai peraturan daerah yang isinya seperti tata tertib OSIS tapi dalam bahasa hukum. Masalahnya, peraturan ini cuma berlaku untuk anggota biasa. Sementara admin dan kroni-kroninya bebas melanggar, lalu pura-pura salah kirim.Kadang malah ada pasal yang isinya kayak: “Dilarang spam,” tapi tiap hari kita dapat spam bantuan tunai bersyarat, undangan vaksin ulang, atau polling untuk memilih nama jembatan.
Kalau Ngomong Kritis, Dikeluarin dari Grup
Ini yang paling klasik. Begitu kita kritik admin atau nanya “Laporan keuangannya mana ya?” langsung muncul peringatan: “Jangan asal bicara. Ini forum resmi, jaga etika!” Padahal yang kita minta cuma transparansi iuran kas bulanan. Eh malah dituduh bawa-bawa ideologi terlarang dan siap-siap dikeluarin dari grup. Kalau nggak keluar secara teknis, ya dibisukan. Fitur mute for 1 year.Tiap Ganti Admin, Tema Grup Ganti, Tapi Masalah Tetap Sama
Setiap lima tahun, grup ini ganti admin. Kadang bawa tagline baru, foto profil baru, bahkan ganti nama grup dari “NKRI” jadi “Indonesia Emas”. Tapi isinya tetap itu-itu juga: laporan tidak dibaca, spam tidak berhenti, dan warga tetap kebingungan mencari bantuan. Admin baru janji bawa perubahan, tapi baru seminggu udah mulai forward meme receh dan janji yang sama kayak admin sebelumnya.Tapi Kita Tetap di Sini. Karena… Ya Mau ke Mana Lagi?
Ini bagian paling tragis sekaligus filosofis. Kita tahu grup ini berisik, nggak efektif, kadang bikin stres, tapi kita tetap bertahan. Bukan karena kita suka, tapi karena kita bagian dari grup ini sejak lahir. KTP kita otomatis dimasukin ke dalam grup. Kita nggak bisa keluar. Kita bisa protes, tapi tetap dibaca doang. Kita bisa kecewa, tapi tetap harus ikut urunan saat negara butuh.Mungkin negara akan tetap seperti ini: tempat yang penuh spam, broadcast, janji-janji, dan admin yang lupa siapa yang bikin grup ini ada. Tapi seperti grup WhatsApp keluarga, kita tetap baca, tetap bertahan, dan kadang tetap ketawa juga melihat tingkah absurd di dalamnya. Karena walau menyebalkan, grup ini tetap tempat kita pulang. Dan semoga suatu hari, kita bukan cuma bisa baca, tapi juga bisa bicara, memilih admin yang benar, dan akhirnya, tertawa karena negara bukan lagi lelucon, tapi ruang yang benar-benar hadir, lebih dari sekadar centang biru.