![]() |
Ada hari-hari ketika kita bangun tidur dan merasa jadi warga negara itu lebih capek daripada jadi manusia. Bangun pagi, buka berita, korupsi masih setia. Listrik naik, harga cabe nggak sopan, dan birokrasi tetap seperti game puzzle: sulit, membingungkan, dan bikin stres. Maka muncullah pertanyaan eksistensial level nasional: kalau rakyat bisa mensejahterakan dirinya sendiri, lalu apa pentingnya negara?
Negara, Dulu dan Kini: Dari Bapak ke Beban
Dulu negara itu dianggap kayak “bapak yang baik”, melindungi, mengayomi, mengatur hidup supaya nggak kacau. Tapi hari ini, negara sering lebih mirip bapak tiri yang ngutang atas nama keluarga tapi ngilang pas ditagih.Yang kerja ya rakyat. Yang mikir strategi biar warungnya laku ya rakyat. Yang bikin konten viral, nulis puisi, tanam cabai, sampai bantu korban banjir juga rakyat. Lalu negara ngapain?
Kadang ngasih regulasi yang telat. Kadang ngatur-ngatur urusan yang nggak perlu. Sisanya sibuk nge-brief pencitraan supaya tetap kelihatan pancasilais di depan kamera.
Masa Depan Negara: Lembaga atau Lambang?
Ada yang bilang, negara nggak akan hilang. Dia akan bermutasi, kayak Pokemon, tapi bukan jadi lebih keren, cuma beda bentuk aja. Negara mungkin tak lagi berbentuk institusi birokratik konvensional, melainkan jaringan, protokol, atau bahkan startup. Suatu saat nanti, mungkin kita akan milih “paket kewarganegaraan” kayak langganan Netflix: mau negara versi demokratis, semi-otoriter, atau free trial tanpa DPR.Tapi seiring bentuk negara berubah, rasa kebangsaan juga ikut nimbrung cari bentuk baru. Milenial dan Gen Z yang sekarang lebih kenal fandom daripada partai politik, mungkin akan lebih milih tanah air emosional: tempat mereka merasa belong, didengar, dan gak dijajah algoritma.
Nasionalisme: Bukan Soal Bendera, Tapi Soal Koneksi
Di masa depan, nasionalisme mungkin bukan lagi soal hafal lagu kebangsaan atau bisa nyebutin sila keempat. Mungkin dia akan jadi kesetiaan kepada nilai, bukan wilayah. Nasionalisme rasa masa depan adalah perasaan menemukan komunitas yang mau mikir bareng dan gotong royong di tengah dunia yang makin absurd.Maka, kalau negara terus-terusan gagal menjawab tantangan zaman, jangan kaget kalau muncul istilah baru: “Nasionalis banting stir mencari tanah air”. Orang-orang yang tetap cinta pada ide tentang kebersamaan, tapi sudah nggak percaya lagi pada wadah lamanya. Kayak orang masih percaya cinta, tapi sudah trauma sama institusi pernikahan.
Negara Gagal, Tapi Rakyat Tetap Ngegas
Kabar baiknya, rakyat Indonesia sudah punya DNA adaptif. Negara bisa telat bangun, tapi rakyat udah jalan. Negara sibuk debat UU, rakyat sudah nyari link Shopee murah buat galon. Negara gagap hadapi AI, rakyat sudah jualan prompt ChatGPT.Jadi, apakah kita masih butuh negara? Mungkin iya, tapi bukan yang modelnya kayak sekarang. Kita butuh negara yang nggak cuma jadi atasan, tapi jadi temen seperjuangan. Negara yang bukan cuma minta taat, tapi juga mau belajar. Yang nggak cuma pinter bikin janji, tapi juga ngerti kapan harus minta maaf.
Kalau nggak? Ya, siap-siap aja lihat nasionalisme pindah domisili, ikut rakyat yang banting stir. Karena pada akhirnya, tanah air adalah tempat di mana kita merasa hidup, bukan sekadar terdaftar.