![]() |
Ilustrasi Mimpi Empat Digit di Tengah Negara yang Abai |
Ya, inilah “APBN” versi rakyat kecil: hasil togel Hongkong. Bukan APBN yang dibacakan Menteri Keuangan dengan slide penuh grafik dan jargon makroekonomi, tapi angka ajaib dari negeri seberang yang konon lebih bisa dipercaya daripada negara sendiri.
Mengapa rakyat lebih percaya nomor dari luar negeri? Karena di negeri sendiri, harapan sudah lama ditinggal janji. Ketika bantuan sosial harus antre di bawah matahari, ketika subsidi dicabut sambil bilang “demi kebaikan bersama”, dan ketika yang kaya makin nyaman sementara yang miskin makin hemat nafas, rakyat mulai belajar menggantungkan hidup pada yang tak masuk akal: angka-angka mistis dari Hongkong.
Mari kita jujur. Pemerintah tiap tahun menyusun APBN dengan semangat pembangunan. Tapi yang dirasakan rakyat bukan pembangunan, melainkan pembiaran. Maka rakyat pun menyusun “APBN” versi mereka sendiri: beli kupon togel, hitung peluang, dan percaya bahwa mungkin, justru dari meja kecil di warung kopi, nasib bisa berubah.
Dan menariknya, APBN Hongkong ini transparan dan tepat waktu. Keluaran diumumkan setiap malam tanpa molor, tanpa revisi, tanpa alasan “situasi belum stabil.” Tidak seperti bansos yang datang hanya menjelang pemilu, atau program bantuan yang datang dengan syarat seribu berkas. Togel? Cuma butuh mimpi dan keberanian.
Tentu ini bukan pembelaan terhadap perjudian. Tapi ini adalah cermin: ketika rakyat lebih percaya pada sistem undian daripada sistem negara, maka negara itu sedang kehilangan maknanya. Negara semestinya tempat berpulang, bukan tempat menghindar.
Anehnya lagi, negara ini sigap jika urusan penertiban togel, tapi lambat jika soal menertibkan ketimpangan. Rakyat dituduh melanggar hukum karena berharap pada angka, padahal apa bedanya dengan pejabat yang berharap proyek lewat lobi dan fee? Sama-sama spekulatif. Bedanya cuma, yang satu pakai kertas bekas bungkus tempe, yang lain pakai dasi.
Satu hari, seorang bapak-bapak berkata, “Negara bikin APBN, saya juga bikin APBN sendiri, Arah Pencarian Berkah Nomor. Dan sejauh ini, yang dari Hongkong lebih sering memberi saya beras.”
Lucu, pahit, sekaligus benar.
Barangkali saat ini, yang harus dibenahi bukan cuma ekonomi, tapi kepercayaan rakyat terhadap negeri sendiri. Karena begitu kepercayaan itu hilang, yang tersisa hanya mimpi. Dan dalam banyak kasus, mimpi itu dijual dalam bentuk kupon kecil seharga dua ribu rupiah, berharap APBN dari Hongkong bisa menyelamatkan sesi sarapan keluarga.