![]() |
Ilustrasi: Kopi, Malam, dan Gerimis: Sebuah Meditasi Ringan tentang Kesendirian yang Hangat |
Malam datang pelan-pelan, seperti seseorang yang tahu dirinya tidak diundang tapi tetap datang karena tahu: tak ada yang benar-benar menolak kehadirannya. Malam memberi kita alasan untuk berhenti terlihat produktif. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang menuntut kita untuk selalu on, malam seperti bisikan yang berkata, “Sudah, cukup dulu.” Dalam keheningan itu, secangkir kopi hadir sebagai pendamai.
Kopi bukan hanya minuman, ia adalah perbincangan yang tak membutuhkan suara. Aromanya saja sudah cukup untuk membuat hati berhenti mengejar hal-hal yang tak perlu. Di malam yang gerimis, ketika suara rintik jatuh di atap seperti mantra pelipur lara, kopi menjelma menjadi selimut yang bisa diminum. Ia menghangatkan tenggorokan dan perasaan, kadang dengan sedikit getir yang mengingatkan kita pada mantan, kadang manis samar seperti kenangan yang belum selesai.
Gerimis sendiri seperti puisi yang malu-malu. Ia tidak turun dengan kekerasan, tapi cukup untuk membasahi. Gerimis tidak menuntut perhatian, tapi hadir dengan kelembutan yang sering terabaikan. Ia seperti seseorang yang hanya ingin menemani, tidak mengganggu, cukup duduk diam di sebelahmu saat kamu sibuk membenahi luka.
Di tengah malam yang basah, kopi dan gerimis membuat waktu seakan melambat. Kita tak lagi berpikir tentang masa depan atau membenci masa lalu. Kita hanya ada, di sini, sekarang. Dalam cangkir yang mengepul dan jendela yang berkabut, hidup terasa lebih jujur. Tak perlu pencapaian, tak perlu validasi. Cukup dengan duduk diam, menatap keluar, dan berkata dalam hati, “Aku masih di sini.”
Dan mungkin itu cukup.