Kontemplasi Diri Dini Hari

Oleh: Dela Prastisia |
Ilustrasi AI

Dini hari adalah waktu yang ganjil. Ia seperti ruang tunggu antara kesadaran dan mimpi; tempat di mana kopi pahit terasa manis, dan seonggok keinginan yang biasanya malu-malu, mendadak berdiri tegak sambil orasi. Pada jam-jam ini, aku sering duduk diam sambil mendengarkan detak jam, satu-satunya suara yang jujur, sebab ia tidak pernah bohong tentang waktu yang terus berjalan, tidak peduli kita bahagia atau sekadar bertahan.

Dalam sunyi itu, muncul renungan aneh: Bagaimana rasanya hidup jauh dari sini? Bukan sekadar untuk liburan, tapi benar-benar pergi. Bukan kabur, tapi pindah. Bukan cari pelarian, tapi mungkin... tempat untuk bernapas lebih jujur.

Bayanganku melayang pada Dream Country-ku, Swiss. Membayangkan tinggal di sebuah desa kecil di kaki pegunungan Alpen, di mana sapi-sapi terlihat lebih bahagia dari manusia kantoran. Rumah minimalis dari kayu tua, satu meja kecil menghadap jendela, dan aku duduk di sana, journaling tentang bagaimana hari ini aku tidak perlu pura-pura kuat. Susu segar di gelas keramik, buku filsafat ringan di pangkuan, dan keheningan yang tidak mencurigakan.

Namun kadang, Swiss terasa terlalu cantik. Terlalu utopis. Maka pikiranku melompat ke Finlandia. Tempat di mana orang-orang hidup diam-diam namun tingkat kesejahteraannya tinggi dan ya.... bahagia. Di sana, kesepian tidak dianggap sebagai penyakit. Ia dipelihara seperti tanaman hias: tidak ribut, namun tetap tumbuh. Aku ingin belajar dari mereka, dari cara mereka berdamai tanpa terlalu banyak bicara, dari kebiasaan mereka mencintai cahaya matahari yang datang hanya sebentar.

Dan jika rasa bosan atas hidup yang kelewat damai mampir di beranda hidupku, aku ingin sesekali ke Jerman. Negera yang hidupnya diatur oleh tanda lalu lintas dan jadwal kereta. Di sana, hidup mungkin tidak terlalu lembut, tapi paling tidak, segalanya tertib. Aku ingin tahu rasanya hidup di tempat yang tidak membuatku harus menebak-nebak apakah ini giliran bahagia atau giliran tertunda.

Lucunya, dari semua kontemplasi ini, aku sadar: yang aku cari bukan hanya tempat, tapi rasa. Rasa tenang. Rasa cukup. Rasa tidak perlu pura-pura jadi versi ideal dari manusia produktif yang hidup dari to-do list ke to-do list.

Kadang aku bertanya, apakah ini semua hanyalah romantisasi? Apakah aku hanya sedang mencari latar baru untuk drama yang sama? Tapi kemudian, bukankah hidup memang kadang harus dirayakan dalam bentuk lamunan yang mustahil? Setidaknya, khayalan tidak pernah meminta bayaran sewa.

Dini hari adalah satu-satunya waktu di mana kita bisa mengaku lelah tanpa harus diberi solusi. Tidak ada kata “sabar ya” atau “semangat terus”, hanya sunyi yang mendengarkan. Dan di sanalah, dalam kesunyian itu, aku menyusun ulang mimpiku. Bukan untuk lari dari realita, tapi untuk menata ulang harapan.

Mungkin aku tidak akan benar-benar pindah ke Swiss, Finlandia, atau Jerman. Tapi jika aku bisa menciptakan sedikit ruang hening, sedikit ketertiban dalam kekacauan, dan sedikit rasa cukup di tengah kekurangan, maka barangkali, aku sudah sampai.

Bukan di suatu tempat, tapi di diri sendiri.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS