Komunisme Tumbang, Neolib Ngibrit

Oleh: Redaksi |
Ilustrasi: Komunisme Tumbang, Neolib Ngibrit
Hidup hari ini sering kali terasa seperti acara TV yang tidak pernah tamat, tapi iklannya lebih panjang daripada episodenya. Promo e-commerce hadir tiap tanggal cantik. Tagihan kartu kredit datang sebelum gajian. Pasar bebas lebih lincah dari regulasi. Negara seperti cuma sempat kirim notifikasi, tapi tidak sempat ikut diskusi.

Di balik semua gegap gempita itu, ada satu pertanyaan yang pelan tapi menggoda: kenapa Neoliberalisme bisa melenggang santai dan merasa paling benar sendiri? Kenapa semua keputusan besar dunia terasa seperti hasil diskusi di ruang rapat CEO, bukan di meja makan rakyat?

Mari menelusuri jalur sejarah, pakai sandal jepit yang nyaman, dan minum kopi pahit kalau perlu.

Kapan Neolib Mulai Merajalela?

Neoliberalisme, atau “Neolib” biar akrab, bukanlah nama member boyband Korea. Ia sistem ekonomi-politik yang percaya bahwa pasar bebas adalah dewa, dan swasta adalah nabi. Negara? Paling banter satpam kompleks.

Dulu, sekitar pertengahan abad ke-20, Neolib ini masih malu-malu. Masih kalah pamor dari saingannya: komunisme, sosialisme, atau bentuk-bentuk gerakan kiri lainnya. Tapi semua berubah ketika Uni Soviet tumbang. Dering runtuhnya tembok Berlin seperti bel berbuka puasa bagi kapitalisme.

Para ekonom Neolib seperti Milton Friedman melenggang, sambil tersenyum. Bank Dunia dan IMF berubah jadi sahabat pena negara-negara Dunia Ketiga. Semua mulai menjual BUMN, membuka pasar, dan mencoret subsidi. Demi efisiensi. Demi pertumbuhan. Demi utang.

Tapi Kenapa Komunisme Bisa Runtuh?

Runtuhnya komunisme tentu bukan karena salah setting GPS. Banyak yang salah kaprah menganggap komunisme itu gagal karena “ide dasarnya salah”. Padahal, dalam praktiknya, lebih banyak karena sistem otoriternya terlalu rapuh, ekonominya kaku, dan pemimpinnya kadang terlalu semangat menekan lawan politik (dan rakyat sendiri).

Kalau diibaratkan pertandingan tinju, komunisme kalah KO bukan karena lawannya jago, tapi karena dia sendiri masuk ring dengan perut kosong, kaki keseleo, dan manajer yang sibuk selfie.

Runtuhnya komunisme memberi ruang kosong di panggung global. Seperti kursi kosong di kantin yang langsung diisi anak-anak paling populer. Neolib datang, duduk, dan pesan menu lengkap, dari deregulasi, privatisasi, sampai utang multilateral.

Ketiadaan Kiri dan Munculnya Ekstremisme

Begitu gerakan kiri disingkirkan, ruang kosong itu tidak tetap kosong. Seperti etalase kosong di toko online, cepat diisi lagi. Kali ini, oleh kelompok-kelompok ekstrem yang bawa agama sebagai merek dagang.

Beberapa pengamat bilang, hilangnya wacana kiri membuat masyarakat kehilangan narasi keadilan sosial. Orang kecewa, merasa negara tidak peduli, dan akhirnya mencari makna hidup di tempat lain. Kadang, tempat itu bukan sekadar masjid, gereja, atau pura, tapi organisasi ekstrem yang menawarkan surga versi mereka sendiri, lengkap dengan senjata dan video propaganda.

Lantas, Kenapa Tidak Kita Hidupkan Lagi Komunisme?

Pertanyaan ini mengandung bahaya dan nostalgia sekaligus. Seperti mantan yang dulu suka ghosting, tapi sekarang suka story tentang healing dan self-love. Komunisme adalah ide besar, tapi praktiknya terlalu sering dibajak oleh kekuasaan.

Namun bukan berarti gerakan kiri harus mati sekalian. Sosialisme, misalnya, punya banyak versi. Ada yang ala Skandinavia, yang percaya bahwa pajak tinggi adalah tiket menuju kebahagiaan bersama. Ada juga gerakan kiri yang fokus pada keadilan lingkungan, demokratisasi ekonomi, dan perlawanan terhadap korporasi raksasa yang lebih besar dari negara.

Kalau tidak mau menyebut “komunisme”, bisa pakai label yang lebih Instagrammable: “ekonomi solidaritas”, “gerakan akar rumput”, atau “sistem gotong royong versi milenial”.

Mungkin yang Mati Bukan Ideologinya, Tapi Imajinasi Kita

Gerakan kiri bukan harus dibangkitkan seperti zombie dari kubur sejarah. Tapi bisa dilahirkan ulang, disesuaikan zaman, diberi vitamin humor, dan dikasih arah yang lebih konkret. Jangan cuma nostalgia pada Karl Marx, tapi juga berpikir: bagaimana keadilan sosial bisa diwujudkan di tengah gempuran algoritma TikTok dan pinjol ilegal?

Dunia sudah terlalu lama ditata oleh pasar dan korporasi. Mungkin sudah saatnya kembali ditata oleh rasa. Rasa adil. Rasa cukup. Rasa ingin hidup dengan tenang tanpa harus ngecek harga minyak goreng setiap hari.

Mungkin, sudah waktunya membuka ruang bagi yang kiri, tanpa harus jadi ekstrem, tanpa harus takut diburu UU, dan tanpa harus lupa bagaimana tertawa.

Karena kalau mau jujur, hidup ini sudah terlalu absurd untuk diserahkan sepenuhnya pada para ekonom dan influencer investasi.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS