![]() |
Ilustrasi Ketika Ilmu Dibungkam Palu |
“Lho,” kata si peneliti, “Tapi saya sudah ukur vegetasinya, bandingkan dengan citra satelit, bahkan nemu tiga spesies endemik langka…”
Si satpam tersenyum santai sambil mengeluarkan surat keputusan bupati: “Hutan atau bukan, bukan urusan data. Ini keputusan hukum.”
Begitulah nasib ilmu pengetahuan di zaman kita: berusaha menyampaikan sesuatu berdasarkan metode, tapi dijawab oleh palu, bukan oleh pikiran.
Ilmu: Mencari Kebenaran
Ilmu itu cerewet. Ia tidak puas pada jawaban “katanya,” “dulu begitu,” atau “ini sudah final.” Ia menyodok hal-hal yang diam, mengendus bau ketidakwajaran di balik arsip yang dikunci.Ia mencocokkan tanggal, membedah tanda tangan, menganalisis susunan kata pada sebuah ijazah, dan bertanya: “Kenapa stempel ini pakai gaya 90-an, padahal ini katanya dari tahun 80?”
Sebuah pertanyaan ilmiah mungkin tidak nyaman. Tapi ia lahir bukan dari kebencian, melainkan dari kecurigaan metodologis, dan itu sehat.
Ilmu tidak menuduh. Ia bertanya. Dan seperti Socrates: ketika terlalu banyak bertanya, ia dihukum minum racun.
Hukum: Mencari Ketenangan
Sementara ilmu mencari kebenaran, hukum mencari kepastian. Kadang ia tak peduli benar atau tidak, asal resmi dan rapi.Pernah ada orang menggugat sebuah ijazah. Ia membandingkan dokumen, menunjukkan tanda tangan yang katanya janggal. Ia berkata: “ini bukan sekadar gosip, saya sudah menyusun analisis.” Lalu datanglah pengadilan, menyatakan: “Anda tidak punya legal standing.”
Dan seperti dalam novel Kafka, yang diadili bukan benar atau salah, tapi siapa Anda di hadapan sistem. Si penuduh pun terdiam. Kajian ilmiahnya tidak dibantah, hanya diabaikan. Seolah berkata:
“Silakan jadi ilmiah, asal tidak menyentuh yang suci.”
“Silakan pakai metode, tapi jangan lupa, kebenaran tetap ditentukan oleh putusan majelis.”
Palu vs Mikroskop
Yang jadi ironi adalah: kajian ilmiah dianggap tidak relevan kecuali disahkan oleh aparat. Seolah kalau mau menyampaikan hipotesis, kita harus mendaftar ke balai desa. Ingin mengkritik logika negara? Harus ada surat pengantar RT dulu.Maka lahirlah zaman aneh: Hutan ditentukan oleh status lahan, bukan vegetasi. Sejarah ditentukan oleh naskah dinas, bukan arsip rakyat. Dan keaslian ijazah disahkan oleh hakim, bukan oleh tim verifikator dokumen akademik.
Di Negeri Ini, Konferensi Ilmiah pun Harus Ada Surat Tugas
Kita hidup di masa ketika keilmuan direduksi jadi klarifikasi. Ketika fakta harus punya SK, dan kebenaran bergantung pada siapa yang bicara, bukan apa yang dibicarakan.Tak heran bila banyak ilmuwan akhirnya memilih diam. Mereka tahu: Lebih mudah membedah virus daripada membedah birokrasi. Lebih cepat menulis jurnal Scopus daripada mendapat izin klarifikasi dari humas kampus.
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Pertama, sadari satu hal: ilmu dan hukum adalah dua domain yang berbeda, dan mereka tidak seharusnya saling menegasikan.Hukum bisa memutus perkara, tapi tidak bisa membatalkan kebenaran ilmiah. Sama seperti pengadilan bisa memvonis Galileo, tapi tak bisa menghentikan bumi berputar.
Kedua, kita harus berani bilang: Kalau tuduhan dilakukan dengan pendekatan ilmiah, maka jawabannya bukan penjara atau pelaporan, tapi kajian ilmiah tandingan.
Bukan pembelaan di podium, tapi pembuktian di laboratorium. Bukan narasi dalam berita, tapi notasi dalam metodologi.
Mari Belajar dari Sejarah
Dulu Giordano Bruno dibakar bukan karena salah, tapi karena terlalu tepat. Hari ini, orang mungkin tidak dibakar, tapi dijadikan bahan lelucon atau kriminalisasi.Tapi tenang saja. Ilmu pengetahuan tidak bisa dipadamkan dengan palu. Ia akan selalu menemukan jalan, entah lewat mahasiswa yang kritis, dosen yang masih idealis, atau… rakyat yang bosan dibodohi.
Karena pada akhirnya, ilmu hanya kalah oleh satu hal: Ketika orang berhenti percaya bahwa berpikir itu penting. Dan kalau sudah sampai ke situ, ijazah asli pun tak akan menyelamatkan negeri ini.