Ketiak dan Ego: Dua Hal yang Harus Rutin Dicuci

Oleh: Redaksi |
Freepict
Di negeri yang katanya beradab ini, ternyata aroma paling mematikan bukan dari gas air mata atau pembakaran hutan, tapi dari ketiak manusia yang belum sadar dirinya adalah senjata biologis berjalan. 

Kita bicara soal fenomena yang tidak terdeteksi radar Satpol PP, tidak tertangkap kamera CCTV, tapi langsung membuat satu ruangan mendadak lebih senyap dari perpustakaan, karena semua orang sedang menahan napas.

Ketiak sebagai Fenomena Filosofis

Ketiak bukan sekadar lipatan tubuh. Ia adalah simbol eksistensial: tempat di mana identitas dan keringat bertemu, menciptakan semacam puisi biologis yang bisa memengaruhi tata ruang dan emosi orang di sekitar.

Namun sayangnya, sebagian manusia menganggap ketiaknya suci. Ia tidak bisa dikritik. Bahkan ketika baunya bisa membuka portal ke neraka, orang itu tetap tenang, tersenyum, dan berdialog seperti biasa, seolah-olah kita semua sedang tidak sekarat.

Ketidaksadaran Olfaktori dan Demokrasi Sensorik

Kita tahu bau ketiak adalah hak asasi. Tapi seperti semua hak, ia punya batas: baumu berhenti ketika hidung orang lain mulai menangis.

Ketidaksadaran terhadap bau ketiak adalah bentuk kecil dari masalah besar: ketidaksadaran diri dalam hidup sosial dan politik. Orang yang tidak sadar ketiaknya bau, biasanya juga tidak sadar kalau pikirannya bau, opininya menyesakkan, dan kehadirannya adalah bentuk penindasan pasif.

Solusi Tanpa Mengorbankan Hak Azasi Ketiak

Kita tidak anti-ketiak. Bahkan, sebagai bangsa yang demokratis, kita mengakui hak tiap ketiak untuk bernafas. Tapi tolong, berikanlah ia deodoran, sabun, atau minimal introspeksi diri.

Bayangkan kalau setiap rapat RT dimulai dengan cek ketiak. Atau sidang DPR wajib pakai alat deteksi bau. Mungkin keputusan publik akan lebih waras. Sebab bau menyiksa bisa lebih jujur dari pidato politik.

Bau, Ego, dan Revolusi Sosial

Bau ketiak yang tidak disadari itu mirip dengan ego yang tidak dikritisi. Ia hidup nyaman di balik baju rapi, menyebar perlahan, dan membusukkan tatanan sosial.

Kita butuh revolusi. Bukan dalam bentuk demo atau kudeta, tapi revolusi mandi. Sebab bangsa besar tidak dibangun dari semangat juang semata, tapi juga dari keberanian menyemprot ketiak sendiri sebelum menyalahkan pemerintah.

Hiduplah dengan Wangi dan Wawasan

Bau itu tak terlihat, tapi terasa. Seperti kebodohan. Dan sama halnya dengan kebodohan, bahwa bau ketiak yang dibiarkan hidup bebas adalah ancaman nasional.

Maka mari kita wangi bersama. Bukan hanya di badan, tapi juga dalam pikiran, argumen, dan cara hidup. Karena ketiak yang sadar diri adalah pondasi dari peradaban yang lebih harum.
Baca artikel lainnya di BERANDA NGAURIS